Selasa, 30 November 2010

TERAPI RASIONAL EMOTIF


TERAPI RASIONAL EMOTIF

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Rasional emotif tergolong dalam orientsi atau perspektif kognitif. Akhir-akhir ini bernama REBT, singkatan dari Rational Emotif Behavior Teherapy, adalah suatu rancangan terapeutik dalam konseling atau psikoterapi yang dikembangkan oleh Albert Elles. Pemakai rancangan ini mementingkan berfikir rasional sebagai tujuan terapeutik. Menekankan modifikasi atau pengubahan, keyakinan irasional yang telah merusak berbagai konsekuensi emosional dan tingkah laku. Atau ringkasnya klien didukung untuk menggantikan ide tidak rasional dengan yang lebih rasional.

Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis,1974).
TRE (Terapi rasional emorif) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientassi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak.


BAB II

PEMBAHASAN

TERAPI RASIONAL EMOTIF

A. KONSEP-KONSEP UTAMA

TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berfikir rasional dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesak pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.

TRE menekankan bahwa manusia berfikir, beremosi, dan bertindak secara simultan, jarang manusia beremosi tanpa berfikir, seab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis “ketika mereka beremosi, mereka juga berfikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berfikir dan beremosi . ketika mereka berfikir, mereka juga beremosi dan bertindak”.

Tentang sifat manusia, Ellis menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanaitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri.

Ellis tidak sepenuhnya menerima pandangan eksistensial tentang kecenderungan mengaktualkan diri disebabkan oleh fakta bahwa manusia adalah makhluk –makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.

  1. TRE dan Kepribadian

Pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut:

Manusia dipandang sebagai sasaran tuntutan biologis dan sosial yang kuat, berpotensi berbuat rasional. Dapat mencegah dan mengeluarkan diri dari kesulitan emosional melalui kemaksimalan pemikiran rasionalnya. Konstruk inti mengenai kepribadian digambarkan sebagai suasana psikologis yang terutama ditimbulkan oleh pemikiran tidak logis, pemikira dan nalar bukanlah dua proses terpisah. Manusia terganjar dan terhukum oleh pemikiran atau bisik dari mereka sendiri.

Neurosis, yang didefenisikan sebagai “berfikir dan bertingkah laku irrasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat.

Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berfikir buruk terhadap sesuatu, maka kitapun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa “gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis (pokok ajaran, atau kepercayaan, ajaran-ajaran yang tidak boleh dibantah) dan tanpa kritik, dan terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah.

TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan.

TRE memnyatakan bahwa orang-orang tidak perlu diterima dan dicintai, bahkan meskipun hal itu diinginkannya. Terapis mengajari para klien bagaimana meraasakan kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima dan tidak dicintai oleh orang-orang lain yang berarti. Meskipun mendorong orang –orang untuk mengalami kesedihan karena tidak diterima oleh orang-orang lain yang berarti, terapis TRE berusaha membantu mereka untuk mengatasi segenap manifestasi daari depresi, kesakitan, kehilangan rasa berharga, dan kebencian.

TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan yang keliru, cenderung mengindoktrinasi diri gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru itu dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjolkan yang terus-menerus diinternalisasi dan tanpa dapat ddihindari mengakibatkan kekalahan diri. Ellis berpendapat sebagai berikut;

a. Gagasan bahwa sangat perlu bagi orang dewasa untuk dicintai atau disetujui oleh setiap orang yang berati di massyarakat.

b. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, dan berprestasi dalam segala hal jika seseorang itu menginginkan dirinya dihormati.

c. Gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat, dan harus dikutuk dan dihukum atas kejahatannya.

d. Gagasan bahwa lebih mudah menghindari daripada menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dan tanggungjawab-tanggungjawab pribadi.

e. Gagasan bahwa adalah merupakan bencana yang mengerikan apabila hal-hal menjadi tidak seperti yang diharapkan.

f. Gagasan bahwa ketidakbahagiaaan manusia terjadi oleh penyebab-penyebab dari luar dan bahwa orang-orang hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kesusahan-kesusahan dan gangguan-gangguannya.

g. Gagasan bahwa masa lampau adalah determinan yang terpenting dari tingkah laku seseorang sekarang dan bahwa karena dulu sesuatu pernah mempengaruhi kehidupan seseorang, maka sesuatu itu sekarang memiliki efek yang sama.

  1. Teori A-B-C tentang Kepribadian

Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teeori dan praktek TRE. A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang reaksi ini bisa layak dan bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). B yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C, yakni emosi emosional. Misalnya, jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresi, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan, penolakan, atau kehilangan teman hidup Ellis berkeyakinan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri.

Untuk mudah dimengerti lagi, bahwa A Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-ke­sulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penye­bab ketidak bahagiaan. B Adalah beliefs, yaitu keyakinan-ke­yakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita. C Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-­keyakinan kita yang keliru.

Bagaimana gangguan emosional dipertahankan?

Gannguan emosional itu dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis atau irrasional yang terus-menerus diulang oleh individu., seperti ”Aku benar-benar bersalah karena bercerai”, ” Aku orang tak berharga”, ”Aku merasa kesepian dan tertolak, dan ini adalah bencana yang mengerikan’. Ellis menyatakan bahwa ”Anda merasakan sebagaimana yang anda pikirkan”. reaksi-reaksi emodional yang terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh sistem keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan yang irasional yang telah dimasukkan oleh individu kedalam dirinya.

Setelah A-B-C menyusul D, D adalah penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang keyakinan-keyakinannya yang irasional yang telah mengakibatkan ganggguan-gangguan emosi dan tingkah laku. Karena prinsip-prinsip logika bisa diajarkan, prinsip-prinsip ini bisa digunakan untuk menghancurkan hipotesis-hipotesis yang tidak realistis dan tidak bisa diuji kebenarannya. Metode logikoempiris ini bisa membantu para klien menyingkirkan ideologi –ideologi yang rusak.

Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

TRE berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioralnya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri,menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganngu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka diatas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berfikir secara logis dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Jadi, TRE mengonfrontasikan (merundingkan) pada klien dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan yang irasional itu.

B. PROSES TERAPEUTIK

1. Tujuan-tujuan Terapeutik

Adapun tujuan TRE dalam konseling terutama adalah menghilangkan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, ketidakyakinan diri. Dan mencapai perilaku rasional, kebahagiaan, dan aktualisasi diri.

Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Menurut Ellis, tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.

Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapinya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.

2. Fungsi dan Peran Terapis

Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien membebasskan diri dari gagasanp-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah manjadikan klien suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama: adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak “keharusan”, “sebaiknya”, dan “semestinya”.

Langkah kedua: adalah membawa klien ke tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus-menerus berfikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan kata lain, karena klien tetap mereintroktrinasi diri, maka dia bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri.

Untuk melangkah kea rah pengakuan klien atas pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan irasionalnya, terapis mengabil langkah yang ketiga, yakni berusaha agar klien memperbaiki pikitan-pikirannya yang meninggalkan gagasan yang irasionalnya. TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis harus membantu klien untuk mamahami hubungan antara gagasan-gagasan yang mengalahkan diri dan filsafat-filsafatnya yang tidak realistis yang menjurus pada lingkaran setan proses penyalahan diri.

Langkah terakhir dalam proses terapeutik adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional. Diharapkan terapis menyerang inti pikiran irasional dan mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.

TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien mengajari klien-klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Ellis memberikan gambaran tentang apa yang dilakukan oleh pempraktek TRE:

a. mengajak klien untuk berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasioal yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.

b. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.

c. Menunjukkan kepada klien ketidalogisan pemikirannya.

d. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.

e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.

f. Menggunakan absurnitas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien.

g. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.

h. Mengajari klien bagaimana menerapkan penerapan ilmiah pada cara berfikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan dating, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berprilaku yang merusak diri.

3. Pengalaman Klien dalam Terapi

Proses terapeutik difokuskan kepada pengalaman klien pada saat sekarang. Sama halnya dengan terapi-terapi client-centered, dan eksistensial, TRE menitik beratkan pengalaman-pengalaman disini dan sekarang dan kemampuan klien untuk mengubah pola-pola berfikir dan beremosi yang diperoleh pada masa kanak-kanak.

Pokok permasalahannya adalah bagaimana agar klien bisa menjadi sadar atas pesan-pesan yang mengalahkan diri dan agar klien menantangnya. Ellis mengatakan bahwa klien acap kali bisa membaik bahkan meskipun dia tidak pernah memahami sumber atau perkembangan masalah-masalahnya.

Pengalaman utama klie dalam TRE adalah mencapai pemahaman. TRE berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosional (emosional insight) oleh klien atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses terapeutik. Ellis mendefenisikan pemahaman emosional sebagai “mengetahui ataumelihat penyebab-penyebab masalah dan bekerja, dengan keyakinan dan bersemangat, untuk menerapkan pengetahuan itu pada penyelesaian masalah-masalah tersebut”. Jadi, TRE menitikberatkan penafsiran sebagai suatu alat terapeutik.

TRE mengungkapkan tiga taraf pemahaman. Untuk menglukiskan ketiga taraf pemahaman, maka kita contohkan seorang klien pria yang berusaha mengatasi rasa takutnya terhadap wanita. Taraf pertama: klien menjadi sadar bahwa ada antesenden tertentu yang menyebabkan dia takut pada wanita. Taraf kedua: klien mengakui bahwa dia masih marasa terancam oleh wanita dan tidak nyaman berada di atara wanita karena dia tetap mempercayai dan mengulang-ulang, keyakinan-keyakinan irasional yang telah diterimanya. Taraf ketiga: terdiri atas penerimaan klien bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan benar-benar, melakukan hal-hal yang bersifat kontropropaganda. Yang penting adalah bahwa klien terlibat dalam kegiatan yang akan menghancurkan penyangga-penyangga ketakutannya yang irasional.

TRE menekankan pekmahaman-pemahaman taraf kedua dn ketiga, yakni pengakuan klien bahwa dirinya yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula menganggu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha menghapuskannya.

4. Hubungan antara Terapis dan Klien

Menurut Ellis, para pempraktek rasional-emotif cenderung tampil imformal dan menjadi dirinya sendiri. Mereka sangat aktif dan direktif serta sering memberikan pandangan-pandangan sendiri tanpa ragu. Mereka bisa menjadi objektif, dingin, dan hamper tidak manunjukkan kehangatan kepada sebagian besar kliennya.mereka bisa bekerja dengan baik dalam menangani para klien yang secara pribadi, melainkan membantu klien dalam mengatasi gangguan-gangguan emosionalnya.

Hubungan pribadi atau kehangatan dan afeksi antara terapis dank lien tidak dipandang sangat penting dalam TRE, tidak berarti bahwa transferensi tidak dianggap signifikan. Ellis percaya bahwa hubungan antara terapis dan klien merupakan bagian yang berarti dari proses terapeutik, tetapi arti itu berbeda dengan arti yang terdapat dalam sebagian besar psikoterapi yang lainnya. Ellis mengatakan bahwa TRE menekankan pentingnya peran terapis sebagai model bagi para klien. Selama pertemuan terapi, terapis memainkan peran sebagai model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional. Terapis juga menjadi model orang yang berani bagi klien dalam arti dia secara langsung mengungkapkan system-sistem keyakinan klien yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari klien.

Oleh karena itu TRE menekankan bahwa bantuan bagi klien bisa diperoleh dari terapis yang sangat terlatih dan rasional. Lebih dari itu, TRE menekankan toleransi penuh dan penghormatan positif tanpa syarat dari terapis terhadap kepribadian klien dalam arti terapis menghindari sikap menyalahkan klien. Terapis secara sinambung menerima klien sebagai manusia yang pantas dihormati, karena keberadaannya, dank arena apa yang dicapainya.

C. PENERAPAN: TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK

1. Tek nik-Teknik dan Prosedur-prosedur Utama TRE

Teknik TRE yang esensial mengajarkan secara ektif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereduksi klien. Terapis menunjukkan penyebab ketidaklogisan gangguan-gangguan yang dialami klien dan verbalisasi-verbalisasi diri yang telah mengekalkan gangguan-gangguan dalam hidup klien.

TRE adalah suatu proses didaktik dan karenya menekankan metode-metode kognitif. Ellis menunjukkan bahwa penggunaan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan pekerjaan rumah, desensitisasi, pengondisian operan, hipnoterapi dan latihan asertif cenderung digunakan secara aktif-direktif dimana terapis lebih banyak berperan sebagai guru dibandingkan sebagai pasangan yang berelasi secara intens.

Teori yang menopang pelaksanaan pekerjaan rumah dalam TRE adalah bahwa karena orang-orang biasa mengatakan kepada diri sendiri kalimat-kalimat irasional yang menciptakan gangguan-gangguan emosional maka mereka mengondisikan diri dengan proses-proses berfikir dan pembayangannya sendiri. Jadi mereka sering menciptakan suatu ramalan pemenuhan hasrat diri yang negatif dan menjadi sungguh-sungguh gagal karena mereka selalu lebih dahulu mengatakan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka akan gagal.

Prosedur-prosedur pekerjaan rumah dirancang untuk membantu para klien agar mereka mengalami kecemasan yang bisa ditembuss oleh mereka bagi pertumbuhan pribadi. Sebagaimana dikatakan Ellis bahwa ”pelaksanaan pekerjaan rumah TRE biasanya merupakan cara-cara untuk mendorong mereka agar menjadi hedonis-hedonis jangka panjang: untuk tetap dengan kesakitan-kesakitan mereka sekarang...bahkan kadang-kadang memperhebat agar akhirrnya menghapuskan atau memusnahkan tingkah laku mengalahkan diri”. Menurut Ellis, para klien telah mempraktekkan verbalisasi-verbalisassi diri yang menimbulkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku dan pelaksanaan pekerjaan rumah mendorong mereka untuk mempraktekkan pengondondisian balik dengan seperangkat keyakinan yang rasional.

Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :

a. Terlibat dalam permainan peran dengan klien.

b. Menggunakan humor.

c. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.

d. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang sesifik bagi tindakan.

e. Bertindak sebagai model dan guru.

f. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.

g. Menggunakan "terapi kejutan vebal" atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.

h. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.

i. Manusia berfikir, berperasaan dan bertindak secara serentak. Kaitan yang begitu erat menyebabkan jika salah satu saja menerima gangguan maka yang lain akan terlibat sama. Jika salah satu diobati sehingga sembuh, dengan sendirinya yang dua lagi akan turut terobati.

2. Penerapan pada Terapi Individual

TRE yang diterapkan pada penganganan seorang pada umunya dirancang sebagai yang relatif singkat. Ellis menyatakan bahwa orang yang mengalami emosional yang berat sebaiknya menjalani terapi individual maupun kelompok dalam periode tujuh bulan sampai satu tahun agar mereka memiliki kesempatan untuk mempraktekkan apa yang sedang mereka pelajari.

Ellis mengatakan bahwa kebanyakan klien yang ditanggani secara individual memiliki satu sassion setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sassion. Pertama klien mulai mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis mencari peristiwa-peristiwa pencetus yang mengakibatkan perasaan-perasaan yang membingungkan itu. Terapis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk secara langssung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-cara hidup yang rasional. Setiap minggu terapis memeriksa kemajuan kliennya dan secara sinambung belajar mengatasi keyakinan-keyakinan irrasional sampai ia lebih dari sekadar menghilangkann gejala-gejala, yakni sampai mereka belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional.

3. Penerapan pada Terapi Kelompok

TRE sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsip TRE pada rekan-rekannya dalam setting kelompok. Ellis telah mengembangkan suatu bentuk terapi kelompok yang dikenal dengan nama A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan metode-metode dan prinsip-prinsip TRE. Terapi kelompok ini dibagi kedalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam terapi rational-encounter tanpa berhenti, yang diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam. Bagian kedua mencakup terapi 10 jam lagi. Pada tahap-tahap permulaan, prosedur-prosedur emotif-evokatif tidak digunakan, dan tidak pula diusahakan pemecahan masalah dan pembuatan putusan. Setelah terapi berjalan lancar, prinsip-prinsip logika berfikir rasional yang biasa digunakan dalam terapi individual, diterapkan pada kelompok.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Inti dari proses terapeutik TRE ini adalah penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional

Tujuan dari Rational Emotive Theory adalah:

1. memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.

2. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak

3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :

  1. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
  2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
  3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
  4. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
  5. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
  6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien
  7. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris, dan
  8. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.

B. SARAN

Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya baik dari sisi isi maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.


DAFTAR PUSTAKA

- Mappiare, Andi AT, 2009, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

- Corey, Gerald. 2009. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

- Pujosuwarno Sayekti, M.Pd, Dr. 1993. Berbagai Pendekatan Dalam Konseling. Menara Mas Offset: Yogyakarta.

- Surya Mohammad. 1988. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori).Yogyakarta: Kota Kembang.

- Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Progam Bimbingan Dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

- http://dhiyan-psikologiasyik.blogspot.com/2008/06/terapi-rasionalemotif.html

- http://luthfis.wordpress.com/2008/04/03/rational-emotive-theraphy/

- http://faizperjuangan.blogdetik.com/tag/rasional-emotif-terapi

Jumat, 26 November 2010

program kesetaraan



PROGRAM PLS


OLEH :

ANDEP ATRIJAYA

0 8 0 5 1 3 5 3 8 6


PROGRAM STUDY PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2010

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Program

Salah satu tujuan nasional di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat diupayakan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan utama dan hak asasi setiap manusia. Namun, masih tampak pula kesenjangan pendidikan karena pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merata, sehingga masih banyak ditemukan warga yang menyandang buta aksara. Akibatnya, hal tersebut juga berpengaruh terhadap kemampuan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bekerja sama dengan berbagai elemen dunia pendidikan untuk memberantas buta aksara dan meningkatkan HDI sebagai tolok ukur kualitas SDM Indonesia dimata dunia, karena 2/3 variabel pendidikan dikontribusi dari angka melek aksara (literacy rate).

Pemberantasan Buta aksara penting dilaksanakan. Beberapa dasar dilaksanakannya pemberantasan buta aksara antara lain, pertama, melek aksara merupakan hak dasar bagi setiap orang, sekaligus sebagai kunci pembuka bagi pemerolehan hak-hak lainnya. Kedua, masalah buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan masyarakat. Sedangkan yang ketiga, buta aksara berdampak terhadap pembangunan bangsa, yakni:

1) rendahnya produktivitas masyarakat,

2) rendahnya kesadaran untuk menyekolahkan anak/ keluarganya,

3) rendahnya kemampuan mengakses informasi,

4) sulit menerima inovasi (pembaharuan), serta

5) rendahnya indeks pembangunan manusia .

Sesungguhnya program Pemberantasan Buta Huruf/Aksara telah dijalankan sejak tahun 1950-an melalui berbagai pola dan pendekatan dengan melibatkan berbagai kalangan masyarakat seperti organisasi sosial masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan lembaga terkait lainnya. Namun jumlah penyandang buta aksara di Indonesia hingga kini masih tinggi (sekitar 14,8 juta orang) atau mencapai 5,97% (tahun 2008) (DIRJEN PNFI, 2009). Mulai tahun 2005, Pemerintah telah melaksanakan program Pemberantasan Buta Aksara intensif sebagai upaya untuk mempercepat peningkatan tingkat melek huruf (literacy rate) dengan target setidaknya mencapai 95% pada tahun 2009.

Guna menjangkau kelompok-kelompok yang masih buta huruf, Pendidikan Luar Sekolah mempunyai Program Keaksaraan Fungsional. Program Keaksaraan Fungsional ini lebih mengkonsentrasikan kepada kelompok usia produktif yaitu umur 10 - 44 tahun. Keaksaraan fungsional adalah pendekatan pembelajaran baca, tulis, dan hitung yang terintegrasi dengan keterampilan usaha berdasarkan kebutuhan dan potensi warga belajar. Adapun tujuan program ini adalah membelajarkan warga belajar agar mampu membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sebagai dasar untuk meningkatkan usaha dan taraf kehidupannya.

Berdasarkan informasi pada pembekalan KKN PBA Universitas Negeri Malang, angka buta aksara di Kabupaten Lumajang mencapai sekitar 18.000 jiwa. Sedangkan dalam peringkat nasional, Jawa Timur merupakan provinsi terbesar pertama untuk angka buta aksaranya. Sehingga ditargetkan pada tahun 2009 ini angka melek aksara dapat ditingkatkan dengan ditanganinya 1.200 warga belajar pada KKN PBA KF UM ini. Pada KKN (Kuliah Kerja Nyata) PBA KF yang dilaksanakan oleh mahasiswa Universitas Negeri Malang pada semester pendek tahun ajaran 2008-2009 berada di Kecamatan Pasirian dan Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang.

Kecamatan Pasirian merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Lumajang. Luas Kecamatan Pasirian adalah 183,91 km2 dengan jumlah penduduk sebesar 80.100 jiwa yang tersebar pada 11 desa yang terdiri dari 55 dusun, 99 RW dan 498 RT. Semua Desa di Kecamatan Pasirian berklasifikasi Desa Swasembada. Dari segi kependudukan, jumlah penduduk Kecamatan Pasirian dari hasil registrasi penduduk akhir tahun 2007 sebesar 80.100 jiwa, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 22.289 rumah tangga yang terdiri dari 39.327 jiwa atau 49,09% penduduk laki-laki dan 40.773 jiwa atau 50,9% penduduk perempuan. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian sebesar 82,4 %, disusul yang bekerja pada industri kerajinan sebanyak 6,12 % dan perdagangan sebanyak 5,59 %.

KKN PBA KF yang dilaksanakan oleh penulis berada di Desa Bades, Kecamatan Pasirian. Sehingga pembahasan berikutnya akan difokuskan pada pelaksanaan program pemberantasan buta aksara di Desa Bades. Desa Bades merupakan desa terbesar kedua di Kecamatan Pasirian setelah Desa Pasirian. Sebelah Utara Desa Bades berbatasan langsung dengan Desa Pasirian. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Bago. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan (Dusun Gondoruso) dan sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Lautan Indonesia. Desa Bades terdiri dari 6 (enam) dusun, yaitu; Dusun Krajan, Purut, Tabon, Siluman, Kajaran, dan Dampar). Mayoritas mata pencaharian penduduk desa yang mempunyai luas sebesar 1.850,913 ha ini adalah petani dan buruh. Jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sekitar 8000 jiwa dengan luas lahan pertanian sebesar 416, 510 ha. Sedangkan jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai buruh sekitar 1000 jiwa. Rata-rata, tingkat pendidikan penduduk Desa Bades sebagian besar hingga tamatan SMP, dengan rincian tamatan SD sebanyak 8.950 jiwa, tamatan SMP sejumlah 1.073 jiwa, tamatan SMA sejumlah 500 jiwa, dan sarjana sejumlah 45 jiwa. Meskipun sebagian besar penduduk Desa Bades telah berkependidikan dasar dan menengah, ternyata masih banyak ditemukan warga penyandang buta aksara akibat tidak sekolah maupun putus sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, maka pemberantasan buta aksara di Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Pemberantasan buta aksara ini akan sukses jika didukung oleh pemerintah dan warga setempat. Oleh karena itu, Dirjen PNFI, LPM Universitas Negeri Malang, dan Pemerintah Kabupaten Lumajang bekerja sama untuk melaksanakan program Pemberantasan Buta Aksara demi mewujudkan Lumajang Bebas Buta Aksara.


2. TUJUAN

a. Meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) serta keterampilan warga belajar agar mampu meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.

b. Menciptakan tenaga lokal yang potensial untuk mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya.

c. Dengan kemampuan calistung merupakan dasar untuk terciptanya masyarakat gemar belajar dan mampu menekan angka drop out di pendidikan persekolahan.
Ujian Nasional Pendidikan

Kesetaraan (UNPK) adalah pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik program Paket A, Paket B dan Paket C yang dilakukan oleh Pemerintah.
Permen Diknas Nomor: 14 tahun 2007 tentang Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan tahun 2008

DASAR

Mata Pelajaran yang diujikan untuk program Paket A mencakup Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial
;

untuk program Paket B mencakup Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial;

untuk program Paket C - IPS mencakup Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Tata Negara, dan Sosiologi;

untuk program Paket C - IPA mencakup Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, Fisika, dan Kimia.

Peserta Ujian
1. peserta didik program Paket A, Paket B, dan Paket C;
2. peserta didik yang pindah jalur dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal;
3. peserta didik yang belajar secara mandiri
Persyaratan peserta UNPK
Peserta asal PNF & PF

memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar dari satuan pendidikan memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, kecuali untuk SD dan Paket A; Peserta dari PInf
memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar portofolio, transkrip, raport, sertifikat, surat penghargaan, surat keterangan tentang keikutsertaan dalam pelatihan, pagelaran, pameran, lomba, olimpiade, dan kegiatan unjuk prestasi lainnya; atau hasil tes kelayakan untuk mengikuti ujian nasional.

UNPK dilaksanakan dua kali dalam setahun.UNPK Tahap I dilaksanakan minggu ke 2 sampai dengan minggu ke 3 Juli 2008 dan tahap II dilaksanakan pada akhir Oktober sampai dengan awal November 2008
Jadwal pelaksanaan UNPK diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal

Pelaksanaan Ujian

Bahan Ujian Nasional

Disusun dan ditetapkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan setelah mendapat persetujuan dari Badan Standar Nasional Pendidikan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan Tahun 2008
Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan disusun oleh BSNP
Penggandaan bahan UNPK dilakukan oleh Penyelenggara UNPK Provinsi dengan memperhatikan aspek pengamanan dan kualitas hasil penggandaan
Penyelenggara UNPK

Penyelenggara UNPK terdiri atas: Penyelenggara UNPK Pusat, Penyelenggara UNPK Provinsi, Penyelenggara UNPK Kabupaten/Kota,dan Unit Pelaksana UNPK Kecamatan.
Tanggung Jawab Pelaksanaan
UNPK
Direktur Jenderal PNFI

Tugas UNPK Pusat oleh Gubernur
a. menetapkan penyelenggara UNPK Pusat;
b. menyediakan blanko surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) dan Ijazah;
c. melakukan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan UNPK.
Gubernur

Tugas UNPK Provinsi
a. menetapkan penyelenggara UNPK Provinsi;
b. mengkoordinasikan, memfasilitasi, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan

UNPK di daerahnya

c. melaporkan pelaksanaan UNPK di wilayahnya kepada Menteri Tanggung Jawab

Pelaksanaan UNPK lanjutan Bupati/Walikota

Tugas UNPK kabupaten oleh Bupati
a. menetapkan penyelenggara UNPK Kabupaten/Kota dan Unit Pelaksana UNPK;
b. menetapkan dan mengkoordinasikan Tim Pengawas UNPK;
c. mengkoordinasikan, memfasilitasi, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan

UNPK di daerahnya;
d. melaporkan pelaksanaan UNPK di daerahnya kepada Gubernur Atase Pendidikan pada

Kedubes RI

Pemindaian (scanning) Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dilakukan oleh
Penyelenggara UNPK Provinsi dengan menggunakan sistem yang ditetapkan
Penyelenggara UNPK Pusat Data hasil pemindaian diskor oleh Penyelenggara UNPK Pusat.

Daftar Nilai Hasil Ujian Nasional (DNHUN) Aditerbitkan oleh Penyelenggara UNPK Pusat
Pemberantasan Buta Aksara Melalui Program Keaksaraan Berbasis Usaha Mandiri
Senin, 01 November 2010 07:18
Ditulis oleh Habib Prastyo

Apakah tahun 2010 ini akan menjadi akhir upaya pemberdayaan masyarakat melalui program pemberantasan buta aksara ini?. Buta aksara kembali (re-illitercy) akan menjadi dampak apabila sentuhan tidak terus diberikan secara berkesinambungan, dan posisi Indeks Pembangunan Manusia ( Human Development Index (HDI)) Indonesia akan kembali terpuruk karena memang angka melek aksara merupakan variable penting dalam menentukan tingkat HDI dari suatu Negara. Sehingga perlu sentuhan program inovatif untuk membantu saudara kita menjadi lebih mampu memanfaatkan kemampuan keaksaraan yang dimilikinya mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.

Langkah penting yang perlu dilakukan guna membantu masyarakat penyandang buta aksara agar lebih kompetitif dengan memanfaatkan kemampuan keaksaraannya adalah melalui pemberdayaan ekonominya. Bimbingan yang lebih komprehensif dengan memadukan antara pembelajaran peningkatan kemampuan keaksaraan dengan kemampuan untuk melakukan usaha secara mandiri akan dapat memotivasi masyarakat meningkatkan kemampuan keaksaraannya dan sekaligus meningkatkan penghasilan secara ekonomi. Seiring dengan upaya yang dapat dilakukan tersebut, pada tahun ini Direktorat Pendidikan Masyarakat kembali menyuguhkan sebuah program guna mendukung pelaksanaan pemberantasan buta aksara melalui program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). Sebuah program yang memiliki kerangka yang menitik beratkan pada peningkatan keterampilan warga belajar melalui pembelajaran keterampilan/usaha yang dapat meningkatkan produktifitas perorangan maupun kelompok pasca keaksaraan dasar.

Program anyar ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai antara lain
1. Meningkatkan kemampuan keberaksaraan usaha mandiri untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
2. Meningkatkan keberdayaan warga belajar melalui peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan dan berusaha secara mandiri.
3. Meningkatkan taraf hidup warga belajar melalui program pendidikan keaksaraan usaha mandiri.
Aspek Penyelenggaraan, Perencanaan Pembelajaran, Pelaksanaan Pembelajaran serta penilaian hasil pembelajaran Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) perlu segera diketahui dan dipahami baik oleh para penyelenggara maupun tutor pendidikan keaksaraan. Hal ini menjadi sangat penting karena penyelenggara dan tutor merupakan komponen penting penentu keberhasilan pelaksanaan program di lapangan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mensosialisasikan aspek-aspek di atas antara lain Melalui diklat-diklat baik bagi para pelatih, tutor maupun penyelenggara program serta Penyebaran informasi melalui buku-buku panduan penyelenggaraan program.

Program keaksaraan usaha mandiri memiliki tuntutan tujuan program yang cukup berat. Disinilah para tutor diharapkan menjadi partner dalam meningkatkan keaksaraan warga belajar dan sebagai motivator dalam upaya meningkatkan kemampuan warga belajar dalam memanfaatkan kemampuan keaksaraannya dalam bentuk usaha mandiri. Setidaknya para tutor memiliki kemampuan dalam mengarahkan warga belajar memiliki jiwa seorang Wirausahawan (enterpreuner), sehingga perlu kembali dilakukan evaluasi mengenai kompetensi tutor yang layak untuk ikut dalam mendukung pelaksanaan pembalajaran nantinya.

Pola pembelajaran pada program keaksaraan usaha mandiri perlu ditunjang dengan adanya upaya kemitraan. Kemitraan dapat dilakukan baik dengan instansi terkait dengan bidang usaha yang dilakukan (balai latihan kerja, Dinas perindustrian dan perdagangan dll) dan/atau dengan pengusaha. Melalui dukungan dari komponen-komponen tersebut diharapkan kegiatan usaha mandiri yang dilakukan oleh warga belajar akan dapat lebih terarah dan berkelanjutan.
Acuan Program keaksaraan dasar
Ditulis Ronggo Tunjung Anggoro Pada Maret 24, 2010 Di Acuan 2010 | 225 Kunjungan 0 Comment
Pengertian
• Keaksaraan Dasar merupakan upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi penduduk melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara usia 15 tahun ke atas agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara untuk mengomunikasikan teks lisan dan tulis dengan menggunakan aksara dan angka dalam bahasa Indonesia.
• Dana program keaksaraan dasar merupakan alokasi biaya APBN yang dapat diakses oleh lembaga/organisasi untuk menyelenggarakan program pendidikan keaksaraan dasar bagi penduduk dewasa dengan kemampuan melek aksara parsial yang cenderung buta aksara agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara untuk mengomunikasikan teks lisan dan tulis dengan menggunakan aksara dan angka dalam bahasa Indonesia.

Sasaran Program Keaksaraan Dasar
Sasaran program keaksaraan dasar adalah Penduduk usia 10 tahun ke atas yang melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara dan yang putus sekolah, baik dai tingkat SD sampai tingkat atas.

Tujuan Program Keaksaraan Dasar
Program keaksaraan dasar bertujuan untuk:
• Memperluas akses penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan.
• Memberikan kemampuan keaksaraan bagi penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas

agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara

untuk mengomunikasikan teks lisan dan tulis dengan menggunakan aksara dan angka

dalam bahasa Indonesia.
• Meningkatkan keberaksaraan dan keberdayaan penduduk usia 10 tahun ke atas yang

masih berkeaksaraan rendah melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan.
• Membantu meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia melalui peningkatan

angka melek aksara penduduk secara nasional.

SASARAN DIKSETARA
1. Penduduk usia sekolah yang terkendala ke jalur formal
(ekonomi, waktu, geografi, sosbud)
2. Penduduk yang berasal dari komunitas e-learning, sekolah rumah, sekolah alternatif,

dan komunitas berpotensi khusus seperti pemusik, atlet, pelukis dll., yang menentukan

pendidikan kesetaraan sebagai pilihan.
3. Penduduk di atas usia sekolah yang memerlukan pendidikan kesetaraan untuk

menuntaskan wajib belajar atau pengakuan penyetaraan pendidikan menengah melalui

jalur nonformal.

SASARAN

Usia tiga tahun diatas usia SD/MI (13-15 tahun) untuk paket A dan tiga tahun di atas usia SMP/MTs (16-18 tahun) untuk Paket B. Serta usia 21-24 tahun untuk Paket C.
PRIORITAS SASARAN
• USIA SEKOLAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH :
o Kabupaten
o Pedesaan
o Miskin
o Tersulit
o Terpencil
o Tersebar
o Hambatan budaya
Pelaksanaan Pembelajaran
• Kurikulum Tingkat Satua, Pembelajaran Standar Isi, SKKD, Silabus
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
• Mata Pelajaran Sasaran Beragam, Sekolahrumah, E-learning
Sekolah Alternatif (Sekolah alam, kelas campuran Petani, nelayan, ponpes, PRT, TKW,

Anak jalanan Pendidik & Tenaga Kependidikan
• Kompetensi pedagogik, personal, profesional dan Sosial
• Kualifikasi Akademik
Pendidikan formal D IV/SI (prioritas), Guru, Tokoh agama, NST, Peserta Didik
• Peserta didik Paket A, B dan C
• Penempatan Peserta didik
Verifikasi hasil pendidikan terakhir Seleksi tertulis/wawancara (bila memungkinkan

dilanjutkan)

Tes Penempatan Sarana & Prasarana
• Tempat Belajar
• Administrasi
Papan Nama KB
Papan Struktur Organisasi
Kelengkapan Administrasi
Buku induk peserta didik, tutor/tenaga kependidikan
Buku daftar hadir: Peserta didik,tutor/tenaga kependidikan
Buku keuangan/kas umum
Buku daftar inventaris
Buku agenda pembelajaran
Buku laporan akhir bulanan tutor
Buku Agenda surat masuk/keluar
Buku daftar nilai peserta didik
Buku tanda terima ijazah

3. WAKTU YANG TEPAT

Waktu yang tepat untuk mengadakan pembelajaran ini adalah pada saat siang hari sampai sore hari, mulai dari pukul 15.00 - 17.00 wib dan diadakan sebanyak 3x seminggu.

Menurut pengamatan saya di PKBM Insan Cendikia yang berada di Jln. Harapan Raya Tangkerang Selatan No.31 Pekanbaru, pelatihan ini mengadakan pelatihan untuk keaksaraan fungsional sebanyak 2x seminggu dari pukul 14.00 – 17.00 wib, dan diadakan pada hari jumat dan sabtu setiap minggunya. Menurut saya ini sudah bagus dan tidak terlalu padat dan memakan waktu peserta didik.

4. PESERTA

peserta untuk pelatihan ini adalah dari usia 8 tahun hinnga orang dewasa, khususnya anak - anak yang putus sekolah baik di tingkat SD sampai SMA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Pemberantasan Buta Aksara Fungsional (PBA-KF) dilaksanakan dengan menggunakan sistem kluster. Dalam 1 kluster terdiri dari tiga kelompok belajar dengan 3 orang tutor, dan masing-masing kelompok belajar terdiri dari 10 warga belajar. Tutor belajar berasal dari mahasiswa dan dibantu dengan 2 orang tutor lokal. Dalam prakteknya di lapangan, setiap tutor membawahi 1 kelompok belajar yang terletak di dusun yang berbeda dan bertanggung jawab atas 2 kelompok belajar yang lain. Jadi, 1 tutor bertanggung jawab atas 3 kelompok dalam 1 klusternya.

Pada awalnya, pendataan warga belajar menemui kendala karena beberapa di antara warga belum mengetahui bahwa dirinya masuk dalam daftar warga belajar. Motivasi awal mereka masih kurang, sehingga tutor menerapkan pendekatan persuasif. Pada pendekatan pertama, tutor melihat penyebab kurangnya motivasi belajar dan sumber-sumber penyelesaian penumbuhan motivasi belajar dalam kaitannya dengan lingkungan di mana warga belajar tersebut tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Strategi tersebut dapat berupa program jaminan mendapatkan SUKMA (Surat Keterangan Melek Aksara) dan perlindungan bebas dari pendataan menjadi warga belajar atas program PBA KF- SUKMA tingkat dasar oleh lembaga lain pada waktu mendatang.

Pendekatan kedua dilakukan dengan mengamati warga belajar dalam konteks situasi masing-masing. Strategi tersebut berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat warga belajar secara individual memiliki masalah dan kemampuan unik. Program PBA KF ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapi oleh warga belajar. Maka, strategi yang dapat dilaksanakan yaitu:

1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan sumber belajar yang meliputi modul, alat tulis,

dan kaca mata /alat bantu penglihatan.

2. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keterampilan,

pelatihan kewirausahaan, dan pembinaan partisipasi sosial masyarakat.

3. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-usaha

ekonomis produktif. Namun, strategi yang ketiga ini belum dapat terealisasi.


Kegiatan pembelajaran PBA-KF dilaksanakan 3 sampai 5 hari dalam 1 minggu. Kegiatan tersebut berlangsung pada malam hari yaitu antara pukul 18.00 sampai 21.30 WIB. Pembelajaran dilaksanakan di rumah salah satu warga belajar dan di rumah tutor lokal. Waktu, tempat, dan materi pembelajaran ditentukan berdasarkan kesepakatan antara tutor dengan warga belajar. Materi yang dipelajari bersifat sederhana dan mudah dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa topik pembelajaran yang disajikan antara lain Uang, Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, Demam Berdarah, Pupuk Kompos, Teladan Sifat Sabar, dan Keterampilan yang Bersifat Aplikatif . Warga belajar juga dapat memahami cara berhitung sederhana yang diajarkan dalam bentuk hitung bersusun pendek dan soal cerita. Sedangkan keterampilan yang dipraktekkan diharapkan dapat mengasah dan menambah skill warga belajar dalam menciptakan suatu karya yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat dijadikan rintisan suatu wirausaha yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup warga belajar.

5. METODE / CARA

Metode pembelajaran yang diimplementasikan pada pembelajaran KF ini adalah metode ceramah, curah pengetahuan, dan pemberian tugas. Metode pembelajaran tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kondisi warga belajar, kemampuan daya tangkap, dan latar belakang warga belajar. Pada umumnya tiga kelompok belajar yang terpisah di tiga dusun tempat penelitian memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda. Pada kelompok belajar Ki Hajar Dewantara 16 dan Ki Hajar Dewantara 10 di Dusun Krajan, sebagian besar warga belajar sudah pernah belajar tetapi putus sekolah pada kelas 1, 2, 3, 4, atau 5 SD. Maka kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan dengan multi metode karena mereka telah memiliki kemampuan mengenal huruf. Sedangkan di kelompok belajar Ki Hajar Dewantara 15 di Dusun Tabon, sebanyak 80% warga belajar telah memiliki kemampuan awal, dan 20%nya termasuk buta aksara murni.

Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, secara umum warga belajar dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok buta huruf murni dan kelompok yang sudah mengenal huruf. Pembagian kelompok ini dimaksudkan agar terdapat kesesuaian antara materi pembelajaran dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan warga belajar. Selain fokus pada kegiatan pengenalan huruf, membaca, menulis, dan berhitung, warga belajar juga mendapatkan materi tentang keterampilan. Kegiatan keterampilan yang di dalamnya mengandung analisis kewirausahaan dilaksanakan secara berkelompok dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab terhadap kelompok.

Kelancaran kegiatan pembelajaran didukung oleh motivasi warga belajar dan sambutan baik dari masyarakat sekitar. Sedangkan, beberapa permasalahan yang dihadapi di lapangan yang sedikit banyak dapat menghambat kelancaran pelaksanaan PBA-KF antara lain, sosial masyarakat, kondisi geografis, faktor usia, rasa minder, dan faktor ekonomi.

Berdasarkan tinjauan faktor sosial, arti penting pendidikan masih sering dianggap remeh oleh sebagian masyarakat. Adanya pandangan masyarakat bahwa belajar di usia dewasa atau tua tidak lebih dari suatu hal yang sia-sia, membuang materi dan waktu dengan hasil tidak yang sepadan menjadikan warga enggan menerima ajakan untuk belajar ketika tutor melakukan pendataan ulang calon warga belajar.

Sebagian besar tanah di Kecamatan Pasirian merupakan tanah pertanian dengan mayoritas mata pencaharian penduduk sebagai petani. Kondisi yang juga merupakan faktor ekonomi ini menyebabkan warga masyarakat sibuk dengan aktivitasnya pada pagi dan siang hari sehingga kegiatan pembelajaran hanya dapat dilaksanakan pada malam hari. Dengan kondisi pembelajaran di malam hari, maka kendala yang sering muncul adalah proses pembelajaran yang kurang nyaman. Hal ini disebabkan oleh penerangan/ pencahayaan lampu yang kurang, mata tua yang rabun, serta tubuh yang lelah karena telah bekerja seharian di sawah. Di samping itu, jarak antar tempat pembelajaran yang cukup jauh juga menyulitkan para tutor dalam 1 kluster untuk melakukan rolling dalam proses pembelajaran.

Adanya perbedaan latar belakang pendidikan antar individu warga belajar yaitu ada yang pernah sekolah dan ada yang tidak pernah sekolah sama sekali menyebabkan perbedaan kemampuan dalam menangkap materi yang disampaikan. Hal tersebut menimbulkan suatu dampak psikis yang berupa munculnya rasa minder atau tidak percaya diri bagi warga belajar yang tidak pernah sekolah dan lambat dalam menangkap materi pembelajaran.

Setelah 2 (dua) bulan kegiatan pembelajaran dilaksanakan, maka dilakukan evaluasi melalui ujian SUKMA I tingkat Dasar. Berikut disajikan hasil pre-test dan post-test di ketiga kelompok belajar.
Diagram 1. Hasil Pre-test dan Post-test Ki Hajar Dewantara 16
(Nama Tutor : Tutik Sri Wahyuni)
Diagram 2. Hasil Pre-test dan Post-test Ki Hajar Dewantara 15
(Nama Tutor : Syaiful Bakri)
Diagram 3. Hasil Pre-test dan Post-test Ki Hajar Dewantara 10
(Nama Tutor : Nawawi)
Dari hasil pre-test dan post-test tersebut kemudian dianalisis dengan uji t (tes signifikansi) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pre-test dengan post-test (uji t kelompok belajar Ki Hajar Dewantara 16 sebesar 2,90, Ki Hajar Dewantara 15 sebesar 2,58, dan Ki Hajar Dewantara 10 sebesar 2,68 dengan t0,05 harga t = 2,26). Sedangkan hasil evaluasi terhadap kegiatan keterampilan dapat dinyatakan bahwa seluruh warga belajar telah memiliki keterampilan yang memadai. Namun, untuk mendukung wirausaha keterampilan tersebut masih mendapat kendala modal, sehingga masih banyak warga yang belum berani membuka usaha sampingan dan hanya fokus pada bercocok tanam.

6. PENGURUS

Untuk menjaga keberlanjutan program dan menjaga agar kemampuan keberaksaraan warga belajar terus terpelihara serta tidak menjadi buta aksara kembali, maka setiap tutor bersama warga belajar harus menyusun rencana kerja tindak lanjut setelah program berakhir. Untuk itu, tutor lokal yang pernah direkrut dan mengetahui perkembangan warga belajar yang telah dibimbingnya dapat melaksanakan pembinaan jika ada warga belajar yang dirasa masih memerlukan pembinaan. Selain itu, tutor juga harus berkoordinasi dan berkonsultasi dengan dinas/ instansi terkait seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tambo sebagai organisasi mitra pemerintah daerah demi keberlanjutan program. Pemerintah setempat dan instansi yang terkait juga dapat merancang program Keaksaraan Fungsional Tingkat Lanjutan bagi warga belajar yang telah menempuh program Keaksaraan Fungsional Tingkat Dasar. Jenjang berikutnya yang lebih tinggi yaitu program keaksaraan fungsional tingkat mandiri.

7. KESIMPULAN
Untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta keterampilan warga belajar, maka kegiatan PBA KF dilaksanakan dengan strategi pendekatan persuasif dan pendekatan dengan prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism. Oleh karena itu, materi yang diajarkan adalah topik-topik yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari warga belajar yang telah disepakati oleh warga belajar bersama tutor dengan menggunakan metode ceramah, curah pengetahuan, dan pemberian tugas. Kegiatan PBA KF di Desa Bades Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang ini dapat dinyatakan berhasil ditinjau dari evaluasi kegiatan keterampilan dan tes signifikasi yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hasil pre-test dengan post-test berdasarkan pre-test dan post-tes one group design. Keberhasilan PBA KF ini didukung oleh kerja sama antara warga belajar, masyarakat, PKBM Tambo, kalangan akademik, dan Pemerintah Daerah Lumajang. Selanjutnya, keberhasilan perlu dievaluasi bersama dan ditindaklanjuti agar warga belajar tidak mengalami buta aksara kembali yang dapat dilaksanakan melalui program keaksaraan Fungsional (KF) lanjutan dan KF Mandiri.

PERAN & TUGAS TUTOR
1. Tutor sbg perancang pembelajaran Mengadakan tutorial Fasilitator Perancang

pembelajaran
2. Tutor sbg penilai pembelajaran Perncang, pelaksana evaluasi Evaluasi sbg perbaikan

pembelajaran Mengetahui kemajuan peserta didik Menganalisis hasil ujian peserta

didik

Memberikan pengayaan bagi Peserta didik Memberikan drill bagi peserta didik yang kemampuan rendah Rekrutmen Peserta didik & Tutor
• Rekrutmen peserta didik Langsung calon peserta didik Melelui Tokoh masyarakat
Pengumuman media massa Melalui lembaga mitra Rekrutmen tutor
• Fungsi rekrutmen :
– Sebagai bahan pertimbangan
– Sebagai data dan informasi bagi penyelenggara
– Sebagai kelengkapan administrasi/dokumentasi
• Tujuan rekrutmen:
– Melakukan analisis kebutuhan pendidik
– Mengangkat tutor program yang sesuai dengan jumlah dan kualifikasi

– Calon tutor Paket A:
1) usia 20-50 tahun;
2) Ijazah terakhir minimal SMA;
Kriteria:
1) Tidak berhenti di tengah program;
2) Bekerja full-time;
3) mengajar lebih dari 1 mata pelajaran;
4) membimbing minimal 2

kelompok peserta didik (40 orang).
– Calon tutor Paket B:
1) usia 21-50 tahun;
2) Ijazah terakhir minimal D3;
Kriteria: (sama dengan kriteria Calon Tutor Paket A)

_Calon tutor Paket C:
1) usia maksimal 50tahun;
2) Ijazah terakhir minimal S1.
• Langkah-langkah rekrutmen:
– Rekrutmen dengan pemberdayaan Potensi SDM setempat
– Rekrutmen dengan mengoptimalkan pendidik pada pendidikan formal
– Seleksi Tutor pendidikan Kesetaraan