SEKILAS TENTANG FILSAFAT ISLAM


1. Apa itu Filsafat Islam?
a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan
sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan
bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof
Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang
mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan
bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab,
sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat
dalam dunia Islam.
Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan
setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam
telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang
menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,
sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai
dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada
ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para
filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam
tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof
Muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang
kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka
tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering
dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan
Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik.
Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah,
juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas
pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan
Islam.
Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi
antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah
mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof
Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah
dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti
logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak
akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.
1 Paper ini disajikan pada acara Ulang tahun Paramadina yang ke XX, di Jakaarta, pada tanggal 23
November 2006
2
Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak
hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan
ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya
memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora,
analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk
matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan
musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti
tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik,
tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi,
farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang
metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan
hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya
kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi
bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya
mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran,
ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang
digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan
tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang
fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang
sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi,
menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu
yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah
dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya
yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai
bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam
mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi
rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai
sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu
antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga
integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak
hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami
secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas
yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan
menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa
dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks
suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan
observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber
yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi
ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang
telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa
tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap
tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang
tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak,
karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin
bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal
dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun,
seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu
menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga
unsur tersebut dipandang sama realnya.