Minggu, 27 Maret 2011

MENURUT PENDEKATAN BEHAVIORISTIK

Nama : DAHLIA

Nim : 10842003825

Study : Bimbingan Konseling Islam IV

Jurusan : Bimbingan Dan Penyuluhan Islam

Dosen Pembimbing : M. Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I

PROSEDUR KONSELING

A. Latar Belakang

Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan atau suatu layanan professional yang dilaksanakan oleh oleh konselor yang berwenang. Konseling dimaksudkan untuk meningkatkan diri, pembuatan keputusan, pemecahan masalah pada klien dengan upaya mempengaruhi tingkah laku secara sukarela, dalam hal ini konselor dituntut untuk mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi klien sehinggga klien dapat melakukan perubahan tingkah alku secara sukarela. Klien mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling yang telah ditetapkan bersama di awal konseling. Adapun kondisi yang memperlancar perubahan tingkah laku diselenggarakan melalui wawancara, hal ini dalam keadaan hubungan personal dan rahasia.

Dalam pelaksanaan konselinng ada mempunyai prosedur agar mencapai suatu tujuan. Dan isi nya akan dibahas pada bab selanjutnya.

BAB II

PEMBAHASAN

PROSEDUR KONSELING

B. Pembahasan Masalah

Prosedur Konseling merupakan tahapan yang harus dilakukan calon client (orang yang ingin konseling), yaitu sebagai berikut :

1. Client merupakan orang yang mempunyai masalah yang berhubungan dengan kehidupan

2. Client harus berusaha terbuka "menceritakan masalah yang dialaminya"

3. Konselor akan menjaga rahasia dan tidak akan menceritakan kepada siapapun tanpa persetujuan dari client

4. Konseling online tidak memungut biaya apapun untuk melakukan konseling online ini

5. Client harus menghubungi no hp yang terterah dibawah ini untuk membuat kesepakatan konseling dengan pihak konselor

6. Tidak di perolehkan bagi client untuk menceritakan masalah yang tidak di milikinya

7. Dalam pelakasanaan Konseling bagi Client atau pun Konselor harus menggunakan fasilitas Yahoo Messenger yang terdapat di Topik konseling.

8. Client harus mentaati prosedur diatas

A. Prosedur Umum dalam konseling

- Datang sendiri / dicari

- Imformasi yang ada / dicari

1) Identifikasi kasus

merupakan upaya untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :

v Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.

v Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.

v Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.

v Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.

v Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2) Identifikasi Masalah

langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek :

v substansial – material;

v struktural – fungsional;

v behavioral; dan atau

v personality.

Untuk mengidentifikasi masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek :

· jasmani dan kesehatan;

· diri pribadi;

· hubungan sosial;

· ekonomi dan keuangan;

· karier dan pekerjaan;

· pendidikan dan pelajaran;

· agama, nilai dan moral;

· hubungan muda-mudi;

· keadaan dan hubungan keluarga; dan

· waktu senggang.

Setelah ditetapkan masalah yang akan dibicarakan dalam konseling, selanjutkan adalah mengumpulkan data klien yang bersangkutan. Data klien yang dikumpulkan harus secara komprehensip (menyeluruh). Data diri bisa mencakup ( nama lengkap dan panggilan atau nama kesayangan, jenis kelamin, anak ke beberapa status anak dalam keluarga misalnya anak kandung, tiri, atau angkat), tempat tanggal lahir, agama, hobi atau cita-cita, ciri-ciri tubuh, alamat dan lain sebagainya).

Ada beberapa langkah dalam prosedur konseling yaitu:[1]

1. Menentukan masalah

Menentukan masalah dalam konseling dapat dilakukan dengan terlebih dahulu malakukan identifikasi masalah (identifikasi kasus-kasus) yang dialami oleh klien. Pada langkah ini hendaknya diperhatikan konselor adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi klien. Maksud dari gejala awal disini adalah apabila seorang klien menunjukan tingkah laku berbeda atau menyimpang dari biasanya.

Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memperhatikan gejala yang tampak, kemudia dianalisis dan selanjutnya dievaluasi. Apabila klien menunjukka tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami klien.

2. Analisis data

Data klien yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Data hasil tes bisa dianalisis secara kuantitatif dan data hasil nontes dapat dianalisis secara kualitatif.

3) Diagnosis

upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu :

v faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan

v faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

Fungsi diagnosis adalah perurumusan masalah yang dihadapi oleh klien dan perkiraan penyebabnya. Klien dapat dibantu untuk memahami dengan baik pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimilikinya sehingga klien memiliki wawasan yang lebih luas dalam bidang-bidang tertentu yang memungkinkan dapat diraih dengan cepat dan tepat. Kemudian klien dapat mengambil suatu keputusan bidang mana yang punya masalah. Penggunaan ini dapat memperoleh imformasi yang dialami oleh seorang klien. [2]

Diagnosis merupakan usaha pembimbing (konselor) menetapkan latar belakang masalah belakang masalah atau factor-faktor penyebab timbulnya masalah pada klien. Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan masalah berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatar belakangi gejala yang muncul. [3]

4) Prognosis

langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.

Setelah diketahui factor-faktor penyebab timbulnya masalah pada siswa ( dalam contoh diatas adalah masalah klien) selanjutnya pembimbing atau konselor menetapkan langkah-langkah bantuan yang akan diambil. Jenis bantuan apa bisa diberikan sesuai dengan masalah yang dihadapi apa bisa diberikan sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh klien.

Langkah prognosis ini membimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan diberikan. Selanjutnya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi individu. Dalam menetapkan prognosis, pembimbing perlu memerhatikan:[4]

a) Pendekatan yang akan diberikan dilakukan secara perorangan atau kelompok.

b) Siapa yang akan memberikan bantuan apakah konselor, guru, dokter atau individu lain yang lebih ahli.

c) Kapan bantuan akan dilaksanakan, atau hal-hal yang perlu dipertimbangkan.

Apabila dalam memberikan bimbingan seorang konselor mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus tersebut perlu dialihkan penyelesaiannya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter, psikiater atau lembaga lainnya.

Layanan pemindah tanganan karena masalahnya tidak mampu diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya bimbingan meupakan proses memberikan bantuan kepada pihak klien agar ia pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya. Selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri dalam menghadapi dan memcahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai masalah tersebut menentukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.

5) Remedial dan Alih Tangan Kasus

jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau konselor, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

Setelah ditetapkan jenis atau langkah-langkah pemberian bantuan selanjutnya adalah melaksanakan jenis bantuan yang telah ditetapkan. Dalam contoh diatas, pembimbing atau konselor melaksanakan bantuan belajar atau bantuan social yang telah ditetapkan untuk memecahkan masalah klien. Dengan adanya memberikan bantuan, maka dilanjutkan dengan merealisasikan langkah-langkah alternatif bentuk bantuan yang berdasarkan latarbelakang yang menjadi penyebabnya.

Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pemberian bantuan ini tidak hanya satu kali pertemuan saja, tetapi perlu waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat. Oleh sebab itu, seorarng pembimbing hendaknya dapat menumbuhkan transferensi yang positif, sehingga klien mau memproyeksikan perasaan ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).

6) Evaluasi dan Follow Up; cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.

Penilaiain meliputi :

v Penilaiaian Segera;

v Peneliaian Jangka Pendek; dan

v Penilaian Jangka Panjang

Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:

· Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;

· Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan

· Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.

Pada tingkatan ini langkah yang diambil oleh pembimbing adalah untuk mengikuti akibat proses konseling yang telah diberikan. Pada fase inilah pembimbing melakukan control apakah hal-hal yang telah lalu. Kalau sekiranya tidak tepat maka perlu segera diambil langkah-langkah baru yang lebih tepat. Dengan demikian fase ini merupakan ukuran tepat tidaknya, dijalankan tidaknya apa-apa yang telah diambil dalam proses konseling itu.

Pada fase ini langkah yang diambil oleh konselor adalah untuk mengetahui efek dari terapi yang telah diberikan. Konselor mengadakan evaluasi tentang terapi yang telah diberikan, apakah hal-hal yang telah didiskusikan pada waktu proses konseling telah dilaksanakan oleh klien. Apabila tidak dilaksanakan, tetapi tida mengenai sasaran atau tidak berhasil maka langkah-langkah yang diambil itu kiranya perlu direvisi untuk menentukan langkah-langkah yang baru. Ketidak tepatan konseling yang lalu mungkin karena diagnosisnya yang tidak tepat sehingga perlu diadakan rediagnosis. Setelah mengadakan rediagnosis maka dilaksanakan konseling sesuai dengan rencana treatment yang baru.

Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah upayah bantuan yang talah diberikan memperoleh hasil atau tidak. Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data dari beberapa individu, maka selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlansung sampai pada akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi, diskusi, dokumentasi dan sebagainya.

Dari beberapa data yang terkumpul, kemudian pembimbing mengadakan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut. Bagaimana ketepatan pelaksanaan yang telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya, apabila pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat mengubah tindakan atau mengembangkan bantuan kedalam bentuk yang berbeda.

Penyelenggaraan konseling juga merupakan salah satu aspek untuk merealisasikan bimbingan dan konseling disekolah. Untuk mengadakan konseling yang baik, seorang pembimbing atau guru pembimbing haruslah mengikuti suatu prsedur tertentu. Pada umumnya prosedur konseling adalah sebagai berikut:[5]

1. Fase Persiapan

Untuk memberikan konseling yang baik dan teratur, pembimbing haruslah dapat memperoleh bahan-bahan terlebih dahulu dari klien/ anak agar apa yang akan dilakukannya dapat sesuai dengan maksud konseling tersebut. Hal ini dapat ditempuh dengan bermacam-macam jalan atau teknik. Bahan-bahan yang telah didapatnya kemudian diolah sehingga didapatkan suatu kesimpulan mengenai masalah yang dihapi oleh anak/ klien sehingga atas ini dapat di rencanakan langkah-langkah apa yang akan dilakukannya untuk membantu. Berdasarkan atas hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa fase persiapan ini meliputi berbagai-bagi langkah sebagia berikut:

· Pengumpulan bahan-bahan (data)

· Pengolahan data

· Mengambil kesimpulan atas data yang ada (diagnosis)

· Menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan pada saat konseling.

Salah satu langkah dalam fase persiapan konseling adalah mengadakan hubungan interpersonal yang baik dengan klien dan kemudian mangadakan wawancara untuk menyusun diagnosis. Sebelum konselor memberiakan bantuan atau terapi, konselor harus mengadakan diagnosis terlebih dahulu. Diagnosis merupakan titik pijak konselor dan memberikan arah dalam melakukan terapi atau bantuan kepada klien. Untuk menyusun diagnosis, diperlukan wawancara terlebih dahulu.[6]

a) Mengadakan hubungan interpersonal yang baik dengan klien

Langkah ini merupakan langkah yang pertama kalidalam rangka konseling. Untuk mengadakan konseling yang baik, langkah ini sangat perlu diperhatikan. Kalau hubungan interpersonal yang pertama kali tidak baik maka dapat diprediksi bahwa konseling tidak dapat berlansung dengan mulus. Dalam hal ini, yang penting adalah menimbulkan saling percaya satu dengan yang lain. Klien harus percaya kepada konselor dan konselor harus percaya tentang keadaan klien.

Permulaan hubungan interpersonal biasanya melalui kontak, yaitu kontak perceptual. Orang akan melihat dan mendengar mengenai orang yang akan diajak membangun hubungan interpersonal. Dalam keadaan ini, orang akan mendapatkan gambaran secara fisik, misalnya sekse, tinggi badan, perkiraan umur, dan sebagainya. Setelah itu, biasanya meningkat pada interactional contact. Dalam tahapan ini, orang biasanya akan mencari informasi dari klien.

b) Mengadakan wawancara dan diagnosis

Setelah hubungan interpersonal terbentuk, lalu dilanjutkan dengan mengadakan wawancara. Wawancara dalam tahapan ini merupakan pendahuluan dalam rangka mengadakan konseling dan menghimpun imformasi untuk mengadakan diagnosis. Melalui wawancara, konselor ingin mendapatkan data dari klien sebanyak mungkin yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh klien.

Dalam wawancara, diperlukan data mengenai identifikasi dari klien, umur, pekerjaan, status perkawinan, latar belakang keluarga, pendidikan, macam kegiatan, dan hal-hal yang lain yang sekiranya diperlukan oleh konselor. Wawancara dapat dilakukan secara bebas oleh klien, dalam arti klien menumpahkan segala apa yang ada dalam dirinya sehingga akan lebih lengkap dalam pengumpulan informasi tentang klien. Apabila diperlukan, dapat digunakan inventori atau tes. Dalam wawancara berlansung, interaksi dengan konselor, keadaan emosinya, dan proses berfikirnya dalam menghadapi realita. Semua itu kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk mengadakan diagnosis.

2. Perencanaan Treatment

Treatment yang akan diambil sudah tentu sesuai dengan diagnosis yang telah dibangun berdasarkan masalah yang dihadapi oleh klien. Dalam rencana treatment ini, apaynga akan digunakan dalam memberikan terapi? Mungkin tentang perubahan perilaku, mendorong berfikir dalam menghadapi realita, penerapan cara belajar yang tepat atau lainnya. Konselor juga mengadakan prediksi atau prognosis sekiranya treatment tersebut akan membawa hasil seperti yang diharapkan. Disamping itu, juga direncanakan teknik atau pendekatan yang akan digunakan dan hal tersebut akan bergantung pada keadaan klien.

3. Fase Konseling

Pada pase ini pembimbing memberikan konseling atas dasar rencana yang telah dibuatnya pada fase persiapan. Pemberian konseling ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam teknik, sesuai dengan klien/ anak yang dihadapi, dapat dengan non-direktif ataupun yang direktif.

Bantuan atau terapi dapat diberikan melalui wawancara konseling atau diskusi. Dalam wawancara konseling, klien dan konselor saling bertukar ide atau sikap melalui perbincangan ( conversation). Tujuannya adalah menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh klien atau paling tidak beberapa perubahan dalam sikap atau pemikirannya.

Ada berbagai macam pendekatan atau teknik dalam wawancara konseling yang dapat digunakan. Pada dasarnya, dalam wawancara konseling digunakan salah satu dari dua frame of reference. Salah satunya adalah client-centered dan yang lain Icounselor-centered. Tinggi rendahnya partisipasi dalam perbincangan atau diskusi antara klien dengan konselor bargantung pada apakah wawancara tersebut tergolong client centered atau counselor-centered.

Dalam clien centered atau person-centered therapy, aktivitas pada dasranya berpusat pada pada klien. Klien didorong untuk mengekpresikan sikap, perasaan, dan fikirannya. Konselor lebih bersikap pasif dan tidak menginterupsi apa yang dikemukakan oleh klien mengenai sikap, perasaan, dan fikirannya. Konselor membantu klien dari pada menanyakan hal-hal yang sekiranya kurang diperluakan untuk pemecahan masalah. Pada umumnya klien didorong untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri.

B. Proses konseling

Untuk melakukan konseling, konselor perlu memerhatikan:[7]

1. Rapport (kepercayaan)

2. Empati (konselor dapat merabarasakan perasaan klien)

3. Keterampilan mendengarkan secara aktif

4. Penguasaan teknik-teknik wawancara konseling.

Konseling dilakukan dengan melakukan langkah pertemuan sebagai berikut:

a) Memulai pertemuan

· Pada awal pertemuan konselor / menyapa klien dan menawarkan bantuan kepadanya dengan pertanyaan

· Pada pertemuan wawancara lanjutan, konselor dapat menyapa klien dengan pertanyaan.

· Menumbuhkan rapport (kepercayaan) klien terhadap konselor sehingga terjadi dialog sejak awal pertemuan. Pembinaan hubungan antara konselor dan konseli memungkinkan suasana kondusif untuk membicarakan segala sesuatu secara terbuka. Keberhasilan konseling bergantung pada kepercayaan sejak awal pertemuan.

· Konselor membuat klien merasa nyaman dan terbuka serta menganjurkan klien menceritakan keluhannya.

b) Mengidentifikasi masalah

· Konseli diberi kesempatan dengan bebas mengutarakan hal-hal yang ingin dibicarakan dengan konselor, baik berupa pikiran-pikiran maupun perasaan-persaannya yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

· Konselor menerima dan mendengarkan unkapan-ungkapan konseli sebagaimana adanya ( mendengarkan aktif), dan memantulkan atau mereflesikan pikiran atau perasaan yang diungkapkan klien.

· Konselor mendapatkan penjelasan dari klien tentang ermasalahannya sambil menentukan masalahnya. Konselor dapat memberikan iimformasi yang diperlukan klien.

· Menggali latar belakang masalah

· Sebagai kelanjutan fase sebelumnya, disinni konseli menyajikan gambaran lengkap dan rinci mengenai masalahnya.

· Penelusuran atau penggalian latar belakang masalah lebih ditekankan pada orientasi konselor sesuai dengan hal-hal khusus yang ingin ditelusuri. Oleh karena itu, penggalian masalah membutuhkan inisiatif konselor.

c) Menawarkan bantuan

· Konselor membantu klien mencari alternative pemecahan masalah.

· Konselor membantu klien membuat ulasan dari permasalahannya dab berbagai alternative jalan keluar yang cocok bagi diri klien.

d) Membantu klien mengambil keputusan

· Konselor membantu klien merumuskan alternative pemecahan masalah dengan segala akibat/ resikonya.

· Konselor membantu klien melakukan beberapa alternative pilihan dan mendukung klien sewaktu mengambil keputusan.

e) Menutup pertemuan

· Jika pada wawancara konseling klien merasa cara berfikir, proses belajar, perasaan, dan perilakunya akan dapat berubah dalam kehidupan sehari-sehar, wawancara konseling dapat diakhiri.

· Pengahiran wawancara konseling sebaiknya mengambil bentuk yang agak formal sehingga pihak konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antar pribadi pada rangkaian wawancara konseling telah selesai. Pihak konselor biasanya mengambil inisiatif untuk memulai fase penutup ini.

· Jika proses selesai dengan satu atau beberapa kali wawancara, sebagai penutup konselor memberikan ringkasan tentang jalanya proses konseling dan menegaskan kembali keputusan yang telah diambil atau mempersilahkan klien meringkas jalannya proses konseling. Konselor memberikan semangat atau dorongan agar klien mengambil keputusan yang telah ditetapkannya. Konselor menawarkannya untuk bertemu kembali pada kesempatan lain jika klien menghadapi masalah lain.

· Jika proses konseling belum selesai dalam satu atau beberapa kali wawancara konseling, konselor memberikan ringkasan mengenai apa yang dibicarakan hingga saat ini. Kemudian, secara bersama menetapkan apa yang akan dilakukan klien selama jangka waktu tertentu sebelum bertemu kembali dengan konselor, dan menentukan kapan pembicaraan di lanjutkan.

Prosedur yang tepat akan menghasilkan sebuah konseling yang terkelola dengan baik; dan dengan demikian akan mencapai tujuan diadakannya konseling tersebut secara lebih efektif dan efisien. Ada beberapa keterampilan melaksanakan prosedur untuk menghasilkan konseling yang efektif dan efisien sebagaimana yang disebutkan oleh George dan Cristiani (1981).[8]

1. Prosedur Awal

Prosedur awal dalam konseling adalah menciptakan atau mengelola lingkungan dan suasana dengan sedemikian rupa, sehingga dapat menghasilkan efek yang mendukung proses konseling, seperti kehangatan dan keterbukaan. Pertemuan pertama dalam konseling harus dapat menumbuhkan keyakinan untuk berterus terang dalam diri konselee terhadap konselor, dengan mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan awal yang baik (Munro, Carkhuff, & Carmier dalam Abimanyu & Manrihu, 1996). Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

a. Menyiapkan kondisi fisik ruang konseling, seperti posisi tempat duduk konselee tidak menghadap tembok, atau jarak antara konselor dan konselee berdekatan, dan sikap duduk konselor adalah berhadapan/mengarah pada konselee. Hal ini juga akan mencakuppengaturan kursi dan ukuran ruangan. Ruang diadakannya konseling hendaknya tidak sempit, tidak sumpek, dan kursi yang dipergunakan bukanlah kursi yang bermaterial keras (kayu, besi, plastik). Gunakan ruang dengan luas yang memadai, tenang, jauh dari keramaian, pencahayaan dan suhu udara baik, serta jika memungkinkan berisikan sofa yang dapat digunakan untuk berbincang-bincang dengan nyaman.

b. Menyiapkan mental baik dalam diri konselee maupun koselor untuk memulai hubungan konseling. Hal ini dapat dilakukan melalui persiapan berupa menggali beberapa fakta seperti atas dasar kemauan siapa konselee datang pada konselor (apakah dirinya sendiri atau orang lain seperti guru dan orang tua?). George dan Cristiani (1981) berpendapat bahwa untuk menyiapkan diri konselor dan konselee dapat dilakukan dengan mengenali diri konselee yang sesungguhnya. Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan konselor pada saat konselee pertama kali melakukan konseling adalah memberikan lembar data konselee untuk diisi konselee yang bersangkutan. Jika memungkinkan, konselor juga dapat memberikan beberapa alat tes/non tes; atau menggunakan data yang sudah digali dari alat tes/non tes yang sudah pernah diberikan pada konselee (misalnya tes intelegensi, tes bakat, dan tes minat yang biasanya sudah diberikan secara klasikal pada saat konselee memasuki sekolah untuk pertama kali; atau hasil observasi guru kelas, atau sosiometri). Tes/asesmen dapat digunakan untuk menggali berbagai informasi mengenai konselee yang mungkin tidak ada dilembar data, namun berperan penting dalam pengambilan keputusan konselee nantinya.

c. Menerima konselee secara akrab dengan menggunakan keterampilan konselor dalam komunikasi konseling. Konselee yang merasa dekat akan dengan mudah membuka diri. George dan Cristiani (1981) berpendapat bahwa keterusterangan pada konselee akan dapat dicapai jika konselor menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya, dan akan menjaga kerahasiaan isi pembicaraan konselee, ada keyakinan bahwa konselor hanya akan mendiskusikan permasalahan konselee dengan orang ketiga jika konselee mengijinkannya.

d. Melaksanakan penstrukturan, yaitu mengelola proses konseling sesuai dengan tujuan dari konseling, sehingga didapatkan hasil yang maksimal.

2. Wawancara Awal

Konseling merupakan proses yang melewati beberapa fase dan tahap yang dapat diperkirakan oleh konselor sebelumnya. Proses ini berawal dengan pembukaan, dan diakhiri dengan penutupan. Bagaimana cara kita membuka sesi konseling untuk pertama kalinya? Setelah perkenalan, konselor dapat berbincang-bincang sedikit untuk meredakan ketegangan konselee. Misalnya menanyakan kabar anggota keluarganya, menanyakan hasil ulangan hariannya, atau bahkan membicarakan perubahan cuaca yang baru saja terjadi. Selanjutnya, konselor haruslah menyebutkan berapa lama waktu yang akan dipergunakan untuk melaksanakan konseling tersebut. Misalnya “Ibu punya waktu setengah jam untuk mendengarkan masalahmu, oke ya?”

Selama sesi berlangsung konselor harus mengkomunikasikan kepeduliannya mengenai topik yang dibahas, dan menyebutkan berbagai faktor dan latar belakang topik tersebut. Konselor juga harus mendapatkan informasi mengenai konselee untuk mendapatkan pemecahanan masalah yang efektif. Sebelum sesi tersebut berakhir, konselor juga harus menyebutkan waktu yang tersisa, misalnya “Wah, tidak terasa ya, kita tinggal punya waktu lima menit lagi”. Sebelum konseling berakhir, konselor dan konselee harus menetapkan apakah konseling tersebut perlu dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan, maka harus sudah ditetapkan tanggal dan jam pertemuan berikutnya tersebut.

Konseling membuka kemungkinan adanya kebutuhan melakukan rujukan. Hal ini dilakukan jika baik konselor maupun konselee tidak mampu menangani kasus, atau membutuhkan kompetensi ahli lainnya. Misalnya untuk konselee yang terkena kasus narkoba, bisa jadi ia membutuhkan bantuan dari psikiater dan peer group untuk melepaskan diri dari jeratan ketergantungan terhadap narkoba. Mungkin ia juga membutuhkan bantuan dari kepolisian untuk menghindarkan diri dari bandar narkoba yang mengejarnya.

Abimanyu & Manrihu (1996) menyebutkan ada beberapa prosedur konseling yang harus dilakukan untuk menmbentuk formasi dan iklim konseling awal yang baik. Prosedur ini didalamnya juga mencakup keterampilan tertentu. Hal tersebut meliputi:[9]

1. Menyiapkan kondisi fisik ruang yang akan digunakan untuk melaksanakan konseling atau konteks. Hal ini dilakukan dengan mengatur dekorasi ruangan, tempat duduk, maupun jarak antara konselor dengan konselee di ruang konseling. Dengan demikian maka konselor dapat membuat konselee merasa aman, tenang, relaks, dan senang hati dalam melakukan konseling.

2. Menyiapkan mental konselor sehingga dapat melakukan konseling dengan lebih baik, yang meliputi:

a) melakukan pengumpulan data konselee sebanyak-banyaknya,

b) mempertimbangkan kerelaan atau ketidakrelaan konselee dalam mengikuti konseling,

c) menilai tujuan konseling yang akan dilakukan, hakekat maupun kadar masalah yang dihadapi konselee,

d) mempertimbangkan kadar usaha konselor dalam memberikan bantuan, dan

e) melakukan relaksasi agar konselor merasa tenang dan nyaman baik sebelum maupun selama konseling berlangsung.

3. Mempersiapkan konselee agar bersedia terlibat (involve) dengan kegiatan konseling. Konselee yang tidak terlibat akan menghambat proses konseling. Konselee yang seperti ini disebut dengan istilah enggan (reluctant), pada akhirnya mereka kemudian dapat berubah menjadiresistant (setengah hati). Egan (dalam Abimanyu & Manrihu, 1996) menjelaskan bahwa konselee dapat menjadi enggan atau setengah hati karena beberapa sebab, seperti :

a) konselee tidak menyadari dan tidak mengerti alasan harus melakukan konseling karena merasa tidak bermasalah,

b) konselee merupakan ’kiriman’ dari orang-orang di luar konselee, seperti guru, orang tua, dan lembaga lainnya,

c) konselee belum menyadari tujuan dari konseling sehingga merasa takut, apalagi jika disekolah konselor biasa disamakan dengan polisi sekolah,

d) konselee belum mengetahui perannya dalam konseling sehingga belum berpartisipasi aktif dalam konseling tersebut, atau

e) konselee pada dasarnya memang tidak menyukai konselor, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kadangkala emosi negatif atau perasaan tidak suka dapat saja muncul tanpa harus memiliki sebab yang jelas, misalnya jika penampilan konselor menyerupai orang yang tidak disukai atau ditakuti konselee dimasa lalunya.

Carkhuff (dalam Abimanyu & Manrihu, 1996) menyatakan ada tiga prosedur yang dilakukan konselor agar konselee bersedia terlibat dengan konseling, yaitu:

1. memikat konselee, antara lain dilakukan dengan membuat rapport yang baik dengan konselee,

2. memberitahukan pada konselee mengenai etika-etika dalam konseling, dan mendiskusikan berdua untuk memilih etika yang akan digunakan selama konseling berlangsung,

3. mendorong konselee untuk melakukan konseling dengan bersungguh-sungguh karena tujuannya adalah untuk membantu konselee semata.

4. Menerima konselee secara akrab melalui keterampilan konseling dan komunikasi yang sudah dikuasai. Misalnya melakukan rapport dan attending dengan baik, empatif, mengobservasi dengan baik, dan seterusnya. Keterampilan dalam melakukan konseling dengan akrab akan membuat konselor bersemangat namun cukup relaks. Dengan demikian maka konselor dapat memperhatikan konselee secara sungguh-sungguh, dan konselee akan semakin terbuka karena merasa konselor berminat padanya.

5. Melakukan penstrukturan konseling. Konseling harus tersruktur, misalnya didalamnya ada awal, inti, dan akhir. Atau alur pemecahan masalah yg dianggap penting & mendesak yang didahulukan, baru kemudian yang kurang mendesak/penting. Pelaksanaan konseling juga harus sejalan dengan permasalahan klien

Dalam konseling ada beberapa tahap yang harus dilalui jika menginginkan hasil yang maksimal dalam konseling, paling tidak ada empat tahap yang harus dilalui yang akan saya coba jelaskan dengan gambar sebagai berikut ;

Tahap Pra Konseling : Attending (keterampilan memperhatikan untuk meningkatkan keterlibatan klien

  1. Keterampilan mempersiapkan Konselor dituntut untuk bisa menciptakan suasana yang kondusif bagi klien sehingga klien bisa merasa nyaman, enak, santai dalam menghadapi situasi pada saat konseling. Hal ini sangat menentukan untuk kelanjutan dari proses konseling selanjtnya karena jika awal konseling klien merasa tidak nyaman maka klien akan cenderung untuk sulit dalam mengeksplorasi masalah yang sedang dihadapi.
  2. Keterampilan penempatan : penempatan disini berhubungan dengan ergonomi dalam mendukung terciptanya suasan yang kondusif bagi klien.
  3. Keterampilan mengamati : dalam konseling seorang konselor harus mampu untuk menangkap atau mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai diri klien dan lingkungannya sehingga memberi gambaran yang menyeluruh tentang diri klien. Dalam proses wawancara konselor harus mampu untuk menagkap bahasa yang disampaikan oleh klien tidak hanya melalui bahasa verbal tapi bisa dari bahasa tubuh, slip of tangue dan lain sebagainya.
  4. Keterampilan mendengarkan : untuk menjadi pendengar yang baik bukan berarti konselor hanya diam mendengarkan tetapi harus ada empati dalam proses mendengar diatas serta bebeapa teknik yang bisa menunjukkan bahwa konselor benar-benar mendengarkan apa yang dieksplorasi oleh klien.

Tahap awal: Responding (keterampilan menanggapi untuk meningkatkan eksplorasi klien)

1. Keterampilan menanggapi isi : konselor harus mampu memahami isi dari pernyataan klien, sebab pada umumnya klien mendapat kesukaran untuk bisa mengungkapkan atau menyatakan suatu perasaan dirinya. Oleh karena itu konselor perlu membantu klien, kalau perlu membantu meneruskan perkataan yang terputus apabila konselor benar-benar merasa yakin bahwa klien betul-betul tidak tahu istilah yang ingin diungkapkan.

2. Keterampilan menanggapi makna : berhubungan dengan pengugkapan isi dari suatu permasalahan dari klien yang kadang sulit untuk bisa diungkapkan oleh klien maka konselor harus mampu untuk menangkap makna dari rangkaian “asosiasi bebas” yang dilakukan oleh klien.

3. Keterampilan menanggapi perasaan : peranan empati dari konselor sangat berpengaruh dalam proses ini, untuk itu konselor harus mampu meyakinkan klien akan rasa aman dalam proses konseling ini.

4. Keterampilan menanggapi perasaan dan alasannya : konselor harus dengan sabar memahami keadaan psikis dari klien serta memberikan kesempatan bagi klien untuk mengungkapkan segala sesuatu yang dialami dalam menghadapi masalah yang sedang dialaminya.

Tahap kedua : Personalizing (keterampilan mempribadikan untuk meningkatkan pemahaman klien)

  1. Keterampilan mempribadikan makna : setelah beberapa tahap diatas berjalan konselor pada tahap ini dituntut untuk bisa membuat klien memahami makna dari ungkapan yang telah dieksplorasi oleh diri klien sendiri, hal ini dengan bantuan dari konselor untuk lebih bisa melihat sesuatu lebih jernih.
  2. Keterampilan mempribadikan masalah : setelah klien memahami makna dari ungkapannya, konselor cob untuk lebih membuat klien mengerti akan akar permasalahan yang sedang dialaminya shingga klien mulai ada gambaran untuk meenyelesaikan masalah tersebut.
  3. Keterampilan mempribadikan perasaan : terkadang dalam diri klien terdapat ego defence yang kuat sehingga sulit untuk bisa menerima suatu kegagalan, kekalahan atau lain sebagainya yang membuat berfikir bahwa dirinya tak bersalah atau bermasalah, dalam tahap inilah harus ada instropeksi diri dari klien agar bisa menyelesaikan masalah yang sedanga dihadapi.
  4. Keterampilan mempribadikan tujuan : jika tahap diatas sudah bisa dilalui maka klien bisa mulai menyusun tujuan penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi.

Tahap tiga : Initiating (keterampilan memulai utuk meningkatkan klien dalam bertindak)

  1. Ketrampilan merumuskan tujuan : dalam tahap ini klien sudah bisa melihat permasalahan lebih jernih dan dewasa sehingga dengan sukarela mulai merubah tigkah laku secara sukrela demi mencapai tujuan yang didinginkan.
  2. Keterampilan merumuskan masalah : akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh klien mulai bisa dirasa oleh klien seingga klien mampu untuk merumuskan langkah kedepan apa yang harus dilakukan. Konselor hanya mengawal dari proses yang sedang dilalui oleh klien serta menumbuhkan kepercayaan diri klien.
  3. Keterampilan menyusun program atau rencana : dalam tahap ini konselor hanya perlu memberikan dorongan bahwa klien bisa melakuakan segala sesuatu dengan keputusan yang diambil dengan segala konsekuensinya.
  4. Keterampilan mengimplementasi program atau rencana : memberikan gambaran konsep diri yang positif, keyakinan diri bahwa klien mampu untuk menyelesaikan masalahnya.

Tahap empat : Terminasi (keterampilan untuk mengakhiri proses konseling)

Agar tercipta suasana yang professional, konselor dituntut untuk mampu mengakhiri proses konseling dengan adanya perasaan penerimaan diri klien dengan sepenuhnya serta klien mampu untuk mandiri dalam menyelesaikan masalahnya.



[1] Tohirin. Bimbingan dan konseling sekolah ( Jakarta: rajawali press. 2007) hlm 317

[2] DRS. Dewa Ketut Sukardi. Analisis tes psikologi ( jakarta: PT. Rineka cipta. 2003) hlm 5

[4] Dr. Fenti Hikmawati, bimbingan konseling ( jakarta: Rajawali Press. 2010) hlm 29

[5] Bimo Walgito, Bimbingan dan konseling ( Yogyakarta: Andi. 1969) hlm 187

[6] Bimo Walgito, Bimbingan dan konseling ( Yogyakarta: Andi. 2010) hlm

[7] Harlina pribadi, pedoman bagi orang tua, guru, dan penyuluh masyarakat ( Jakarta: cakra media. 2007) hlm 142