Selasa, 27 April 2010

Self concept and self control

Self concept and self control

A. self concept

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain
Konsep diri juga di artikan sebagai kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan diri dan yang membedakan bukan dari diri.

self-concept Anda adalah self-image. Bagian ini menunjukkan bagaimana Anda membayangkan diri Anda sendiri, dan menentukan bagaimana Anda akan bertingkah laku dalam satu situasi tertentu. Karena kekuatan citra diri(Jati Diri)


jati diri adalah seberapa besar Anda menyukai diri Anda sendiri. Semakin Anda menyukai diri Anda, semakin baik Anda akan bertindak dalam bidang apa pun yang Anda tekuni. Dan, semakin baik performansi Anda, Anda akan semakin menyukai diri Anda. Bagian ini adalah komponen emosional dalam kepribadian Anda. Komponen-komponen pentingnya

1. bagaimana Anda berpikir,

2. bagaimana Anda merasa,

3. bagaimana Anda bertingkah laku.

B. self control

kontrol diri adalah kemampuan untuk mengendalikan seseorang emosi , perilaku dan keinginan untuk efisien mengelola's masa depannya. Dalam psikologi ini seringkali disebut sebagai self-regulation . Mengerahkan kontrol diri melalui fungsi eksekutif dalam pengambilan keputusan diperkirakan menghabiskan sumber daya dalam ego . Banyak hal yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengerahkan pengendalian diri, tapi pengendalian diri terutama memerlukan cukup glukosa tingkat di otak.. Mengerahkan pengendalian diri menghabiskannya glukosa. Penelitian telah menemukan bahwa dan, miskin mengurangi toleransi glukosa (glukosa berkurang kemampuan untuk mengangkut glukosa ke otak) yang terkait dengan kinerja yang lebih rendah dalam tes penguasaan diri, terutama dalam situasi-situasi baru yang sulit. Self-kontrol di Analisis Perilaku

Pandangan lain adalah bahwa pengendalian diri merupakan dua lokus kontinjensi bertentangan dari penguat , yang kemudian membuat respon memperkuat pengendalian ketika menyebabkan perubahan dalam respon dikontrol.

. Kontrol diri secara langsung berhubungan dengan tekanan yang Anda hadapi.

  • Bagus Tekanan: Bila Anda berada dalam namun tidak menghakimi dan tidak merugikan lingkungan yang kompetitif, Anda ingin menjadi seperti orang-orang di sekitar Anda.. Anda menjadi termotivasi dan terinspirasi dan mendapatkan kontrol diri.
  • Tekanan Buruk: Bila Anda berada dalam lingkungan dan merugikan menghakimi dan tidak ada persaingan Anda menjadi tertekan dan tidak termotivasi. Anda kehilangan kontrol diri.
  • . Tidak ada Tekanan: Ketika Anda bebas dan tidak ada kompetisi, Anda melakukan apa yang Anda rasakan.. kontrol diri Anda didasarkan pada bagaimana Anda merasa dan karena tidak ada satu untuk membandingkan diri Anda, Anda mungkin kurang termotivasi atau lebih termotivasi tergantung pada urgensi apa pun yang Anda lakukan.

a. Pentingnya menggunakan kontrol diri untuk kesabaran

Pada tahun 1960, Walter Mischel menguji empat tahun anak-anak tua untuk kontrol diri dalam "The Marshmallow Test": anak-anak masing-masing diberi marshmallow dan diberitahu bahwa mereka bisa makan kapan saja mereka inginkan, tetapi jika mereka menunggu 15 menit, mereka akan menerima lagi marshmallow. Menindaklanjuti studi menunjukkan bahwa hasil berkorelasi dengan baik dengan tingkat kesuksesan anak tersebut di kemudian hari. .

b. Manusia pengendalian diri

Manusia-kontrol penelitian diri biasanya dimodelkan dengan menggunakan sistem token ekonomi di mana peserta manusia memilih antara token untuk satu pilihan dan menggunakan diperoleh untuk manusia dan non-manusia, dengan muncul terakhir untuk memaksimalkan penguatan secara keseluruhan mereka meskipun penundaan, dengan mantan yang sensitif terhadap perubahan dalam penundaan. Perbedaan metodologi penelitian dengan manusia - menggunakan token atau reinforcers AC - dan non-manusia menggunakan reinforcers sub-primer menyarankan artefak prosedural sebagai tersangka mungkin. Salah satu aspek dari perbedaan-perbedaan prosedur adalah penundaan untuk periode pertukaran (Hyten et al).. -manusia subyek rokok dapat, dan akan, akses penguatan mereka segera.

c. Fisik Pengendalian dan fisik bantua

manipulasi lingkungan untuk membuat beberapa respon secara fisik lebih mudah untuk mengeksekusi dan orang lain secara fisik lebih sulit mengilustrasikan prinsip ini. seseorang sambil menepukkan tangan ke mulut anda sendiri, menempatkan tangan anda di dalam saku anda untuk mencegah gelisah, menggunakan 'tangan posisi' jembatan ke kolam renang stabil ditembak semua merupakan metode fisik terhadap perilaku efek.

d. Mengubah rangsangan

. Kesempatan untuk memanipulasi perilaku dapat mengubah perilaku juga. Menghapus gangguan yang menyebabkan tindakan yang tidak diinginkan atau menambahkan sebuah prompt untuk membujuk itu adalah contoh Menyembunyikan godaan dan pengingat yang dua lagi.

Satu mungkin memanipulasi perilaku kita sendiri dengan mempengaruhi negara kekurangan atau kekenyangan. Dengan melewatkan makan sebelum makan malam gratis satu mungkin lebih efektif memanfaatkan makanan gratis. Dengan makan snack sehat sebelumnya godaan untuk makan gratis "junk food" berkurang.

e. Memanipulasi kondisi emosional

Pergi untuk 'perubahan adegan' dapat menghapus rangsangan emosional, yang mungkin melatih ketidakadilan untuk memotivasi respons yang kuat kemudian.

f. Menggunakan rangsangan permusuhan

Mengatur jam alarm untuk bangun diri kita kemudian adalah bentuk kontrol tidak menyenangkan. Dengan melakukan ini kami mengatur sesuatu yang hanya akan dihindari dengan membangkitkan diri kita sendiri.

Kesehatan mental dalam masyarakat dan kaitan dalam islam

a. Kesehatan mental masyarakat

Biaya hidup keluarganya sangat tinggi.Di dalam sebuah masyarakat, tentu ada pengaruh ekonomi, sosial, dan politik. Tekanan-tekanan dari ketiga hal itu bisa menjadi ‘bahan bakar’ yang mendorong orang untuk bunuh diri. Celakanya, negara seolah lepas tanggungjawab sehingga kasus bunuh diripun kian sering terjadi.
Tak heran bila ahli jiwa RSU dr Soetomo, dr Nalini Agung SpKJ mengatakan, pemerintah telah mengabaikan kesehatan mental masyarakat. Padahal, sejak tahun 2004 lalu, badan kesehatan dunia WHO telah memperingatkan Pemerintah Indonesia agar lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakatnya. Karena diprediksi, pada tahun 2015 mendatang, kesehatan mental masyarakat Indonesia akan lebih parah lagi. Dan apabila tidak segera diatasi, kasus gangguan mental akan menyerupai kasus narkoba, HIV/AIDS, dan lainnya.
Seharusnya negara menyadari bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri telah mengalami gangguan depresi, putus asa, dan tidak berdaya. Ketika himpitan ekonomi dan sosial tidak memberi pilihan, kebijakan politik justru tidak memihak. Orang-orang putus asa pun tidak punya pilihan lain, sehingga bunuh diri menjadi pilihan terbaik.
Di samping belum adanya kemauan politik yang kuat untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental masyarakat, lingkungan tempat tinggal pun tak menyediakan pilihan yang lebih baik. Lantaran masyarakat masa kini yang semakin individualistis.
Seandainya ada kepedulian dari lingkungan sekitar yang memberi dukungan sosial. Atau pengurus negara lebih peduli terhadap kesehatan mental masyarakat dengan menyediakan lebih banyak psikater atau psikolog yang ditempatkan di pusat-pusat layanan kesehatan. Tentu mereka bisa membantu mengobati jiwa-jiwa yang sakit itu. Sehingga bunuh diri pun tidak lagi menjadi pilihan favorit bagi orang-orang ‘sakit jiwa’ untuk keluar dari himpitan masalah ekonomi, sosial, dan politik yang dialaminya.

b. kesehatan mental masyarakat dalam islam

Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian

Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap

bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda

adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang

atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya

seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai

kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh

bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis)

Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini

berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri

merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini

penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi

tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhankebutuhan

pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang

pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan

adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir

dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombang-ambing situasi.12

Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi

pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat

yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human

qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan,

kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental

terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga

mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam

mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan normanorma

yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan

kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk

Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian.

Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang

kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan

ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan

dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara

operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:

-Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.

- Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar

pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.

-Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,

dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.

-Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan

agama dalam kehidupan sehari-hari.13

Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara ideal

bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar

merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai

dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar berupaya untuk

mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat,

dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun

berupaya untuk menghambat dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya,

karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi sumber berbagai gangguan (dan

penyakit) kejiwaan.

Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian

menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan

identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat

bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ada benarnya juga bila orang

dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai seseorang yang

sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat,

rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang

dilandasi oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya

seakan-akan telah tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan

makmur memberi manfaat dan melimpah ruah kepada sekelilingnya.14

Tolok ukur dan gambaran di atas tidak saja berlaku pada diri pribadi,

tetapi berlaku pula dalam keluarga, karena keluarga pun terdiri dari pribadipribadi

yang terikat oleh norma-norma kekeluargaan yang masing-masing

sudah selayaknya berperan serta menciptakan suasana kekeluargaan yang

harmonis dan menunjang pengembangan kesehatan mental.

Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam

pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang

sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara

emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya

pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang

otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya

iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar

merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji

dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa

kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang.

Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan

kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui

berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan

prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT (QS. Ar-Ra’du ayat 11).

Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga

mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri”.

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak

dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya.

Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan

lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri

dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya.

Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus

sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam

kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan

cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma

yang berlaku.

pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian.

Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang

kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan

ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan

dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara

operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:

-Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.

-Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar

pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.

- Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,

dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.

- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan

agama dalam kehidupan sehari-hari

referensi

12Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi.

Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 133-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar