Self concept and self control
A. self concept
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain
Konsep diri juga di artikan sebagai kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan diri dan yang membedakan bukan dari diri.
self-concept Anda adalah self-image. Bagian ini menunjukkan bagaimana Anda membayangkan diri Anda sendiri, dan menentukan bagaimana Anda akan bertingkah laku dalam satu situasi tertentu. Karena kekuatan citra diri(Jati Diri)
jati diri adalah seberapa besar Anda menyukai diri Anda sendiri. Semakin Anda menyukai diri Anda, semakin baik Anda akan bertindak dalam bidang apa pun yang Anda tekuni. Dan, semakin baik performansi Anda, Anda akan semakin menyukai diri Anda. Bagian ini adalah komponen emosional dalam kepribadian Anda. Komponen-komponen pentingnya
1. bagaimana Anda berpikir,
2. bagaimana Anda merasa,
3. bagaimana Anda bertingkah laku.
B. self control
kontrol diri adalah kemampuan untuk mengendalikan seseorang emosi , perilaku dan keinginan untuk efisien mengelola's masa depannya. Dalam psikologi ini seringkali disebut sebagai self-regulation . Mengerahkan kontrol diri melalui fungsi eksekutif dalam pengambilan keputusan diperkirakan menghabiskan sumber daya dalam ego . Banyak hal yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengerahkan pengendalian diri, tapi pengendalian diri terutama memerlukan cukup glukosa tingkat di otak.. Mengerahkan pengendalian diri menghabiskannya glukosa. Penelitian telah menemukan bahwa dan, miskin mengurangi toleransi glukosa (glukosa berkurang kemampuan untuk mengangkut glukosa ke otak) yang terkait dengan kinerja yang lebih rendah dalam tes penguasaan diri, terutama dalam situasi-situasi baru yang sulit. Self-kontrol di Analisis Perilaku
Pandangan lain adalah bahwa pengendalian diri merupakan dua lokus kontinjensi bertentangan dari penguat , yang kemudian membuat respon memperkuat pengendalian ketika menyebabkan perubahan dalam respon dikontrol.
. Kontrol diri secara langsung berhubungan dengan tekanan yang Anda hadapi.
- Bagus Tekanan: Bila Anda berada dalam namun tidak menghakimi dan tidak merugikan lingkungan yang kompetitif, Anda ingin menjadi seperti orang-orang di sekitar Anda.. Anda menjadi termotivasi dan terinspirasi dan mendapatkan kontrol diri.
- Tekanan Buruk: Bila Anda berada dalam lingkungan dan merugikan menghakimi dan tidak ada persaingan Anda menjadi tertekan dan tidak termotivasi. Anda kehilangan kontrol diri.
- . Tidak ada Tekanan: Ketika Anda bebas dan tidak ada kompetisi, Anda melakukan apa yang Anda rasakan.. kontrol diri Anda didasarkan pada bagaimana Anda merasa dan karena tidak ada satu untuk membandingkan diri Anda, Anda mungkin kurang termotivasi atau lebih termotivasi tergantung pada urgensi apa pun yang Anda lakukan.
a. Pentingnya menggunakan kontrol diri untuk kesabaran
Pada tahun 1960, Walter Mischel menguji empat tahun anak-anak tua untuk kontrol diri dalam "The Marshmallow Test": anak-anak masing-masing diberi marshmallow dan diberitahu bahwa mereka bisa makan kapan saja mereka inginkan, tetapi jika mereka menunggu 15 menit, mereka akan menerima lagi marshmallow. Menindaklanjuti studi menunjukkan bahwa hasil berkorelasi dengan baik dengan tingkat kesuksesan anak tersebut di kemudian hari. .
b. Manusia pengendalian diri
Manusia-kontrol penelitian diri biasanya dimodelkan dengan menggunakan sistem token ekonomi di mana peserta manusia memilih antara token untuk satu pilihan dan menggunakan diperoleh untuk manusia dan non-manusia, dengan muncul terakhir untuk memaksimalkan penguatan secara keseluruhan mereka meskipun penundaan, dengan mantan yang sensitif terhadap perubahan dalam penundaan. Perbedaan metodologi penelitian dengan manusia - menggunakan token atau reinforcers AC - dan non-manusia menggunakan reinforcers sub-primer menyarankan artefak prosedural sebagai tersangka mungkin. Salah satu aspek dari perbedaan-perbedaan prosedur adalah penundaan untuk periode pertukaran (Hyten et al).. -manusia subyek rokok dapat, dan akan, akses penguatan mereka segera.
c. Fisik Pengendalian dan fisik bantua
manipulasi lingkungan untuk membuat beberapa respon secara fisik lebih mudah untuk mengeksekusi dan orang lain secara fisik lebih sulit mengilustrasikan prinsip ini. seseorang sambil menepukkan tangan ke mulut anda sendiri, menempatkan tangan anda di dalam saku anda untuk mencegah gelisah, menggunakan 'tangan posisi' jembatan ke kolam renang stabil ditembak semua merupakan metode fisik terhadap perilaku efek.
d. Mengubah rangsangan
. Kesempatan untuk memanipulasi perilaku dapat mengubah perilaku juga. Menghapus gangguan yang menyebabkan tindakan yang tidak diinginkan atau menambahkan sebuah prompt untuk membujuk itu adalah contoh Menyembunyikan godaan dan pengingat yang dua lagi.
Satu mungkin memanipulasi perilaku kita sendiri dengan mempengaruhi negara kekurangan atau kekenyangan. Dengan melewatkan makan sebelum makan malam gratis satu mungkin lebih efektif memanfaatkan makanan gratis. Dengan makan snack sehat sebelumnya godaan untuk makan gratis "junk food" berkurang.
e. Memanipulasi kondisi emosional
Pergi untuk 'perubahan adegan' dapat menghapus rangsangan emosional, yang mungkin melatih ketidakadilan untuk memotivasi respons yang kuat kemudian.
f. Menggunakan rangsangan permusuhan
Mengatur jam alarm untuk bangun diri kita kemudian adalah bentuk kontrol tidak menyenangkan. Dengan melakukan ini kami mengatur sesuatu yang hanya akan dihindari dengan membangkitkan diri kita sendiri.
Kesehatan mental dalam masyarakat dan kaitan dalam islam
a. Kesehatan mental masyarakat
Biaya hidup keluarganya sangat tinggi.Di dalam sebuah masyarakat, tentu ada pengaruh ekonomi, sosial, dan politik. Tekanan-tekanan dari ketiga hal itu bisa menjadi ‘bahan bakar’ yang mendorong orang untuk bunuh diri. Celakanya, negara seolah lepas tanggungjawab sehingga kasus bunuh diripun kian sering terjadi.
Tak heran bila ahli jiwa RSU dr Soetomo, dr Nalini Agung SpKJ mengatakan, pemerintah telah mengabaikan kesehatan mental masyarakat. Padahal, sejak tahun 2004 lalu, badan kesehatan dunia WHO telah memperingatkan Pemerintah Indonesia agar lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakatnya. Karena diprediksi, pada tahun 2015 mendatang, kesehatan mental masyarakat Indonesia akan lebih parah lagi. Dan apabila tidak segera diatasi, kasus gangguan mental akan menyerupai kasus narkoba, HIV/AIDS, dan lainnya.
Seharusnya negara menyadari bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri telah mengalami gangguan depresi, putus asa, dan tidak berdaya. Ketika himpitan ekonomi dan sosial tidak memberi pilihan, kebijakan politik justru tidak memihak. Orang-orang putus asa pun tidak punya pilihan lain, sehingga bunuh diri menjadi pilihan terbaik.
Di samping belum adanya kemauan politik yang kuat untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental masyarakat, lingkungan tempat tinggal pun tak menyediakan pilihan yang lebih baik. Lantaran masyarakat masa kini yang semakin individualistis.
Seandainya ada kepedulian dari lingkungan sekitar yang memberi dukungan sosial. Atau pengurus negara lebih peduli terhadap kesehatan mental masyarakat dengan menyediakan lebih banyak psikater atau psikolog yang ditempatkan di pusat-pusat layanan kesehatan. Tentu mereka bisa membantu mengobati jiwa-jiwa yang sakit itu. Sehingga bunuh diri pun tidak lagi menjadi pilihan favorit bagi orang-orang ‘sakit jiwa’ untuk keluar dari himpitan masalah ekonomi, sosial, dan politik yang dialaminya.
b. kesehatan mental masyarakat dalam islam
Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap
bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda
adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang
atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya
seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai
kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh
bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis)
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini
berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini
penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi
tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhankebutuhan
pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang
pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan
adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir
dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombang-ambing situasi.12
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat
yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human
qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan,
kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental
terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga
mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam
mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan normanorma
yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan
kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian.
Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang
kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan
dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara
operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:
-Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
- Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar
pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
-Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,
dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
-Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan
agama dalam kehidupan sehari-hari.13
Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara ideal
bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar
merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai
dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar berupaya untuk
mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat,
dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun
berupaya untuk menghambat dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya,
karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi sumber berbagai gangguan (dan
penyakit) kejiwaan.
Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian
menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan
identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ada benarnya juga bila orang
dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai seseorang yang
sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat,
rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang
dilandasi oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya
seakan-akan telah tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan
makmur memberi manfaat dan melimpah ruah kepada sekelilingnya.14
Tolok ukur dan gambaran di atas tidak saja berlaku pada diri pribadi,
tetapi berlaku pula dalam keluarga, karena keluarga pun terdiri dari pribadipribadi
yang terikat oleh norma-norma kekeluargaan yang masing-masing
sudah selayaknya berperan serta menciptakan suasana kekeluargaan yang
harmonis dan menunjang pengembangan kesehatan mental.
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam
pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang
sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara
emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya
pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang
otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya
iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar
merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji
dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa
kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang.
Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan
kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui
berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan
prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT (QS. Ar-Ra’du ayat 11).
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak
dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya.
Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan
lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri
dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya.
Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus
sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam
kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan
cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma
yang berlaku.
pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian.
Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang
kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan
dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara
operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:
-Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
-Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar
pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
- Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,
dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan
agama dalam kehidupan sehari-hari
referensi
12Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi.
Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 133-135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar