BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai suatu system filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komperhensif (menyeluruh) dan system pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara lansung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praktis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.[1]
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika dijabarkan maka nilai-nilai ini merupakan norma-norma yang dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Norma-norma tersebut meliputi:
1. Norma moral, yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.
2. Norma hokum, yaitu suatu system peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sila-sila dalam pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu system nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hukum.
B. ARTI NILAI-NILAI
Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum pembahasan nilai lebih jauh, diantaranya adalah;
1. Telah disepakati bahwa nilai itu ada, tapi tidak mudah untuk dipahami, sifatnya
2. Ciri-ciri nilai menurut Bertens dalam (Mulyana, 2004) adalah sebagai berikut:
a. Nilai berkaitan dengan subyek
b. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, ketika subyek ingin membuat sesuatu.
c. Nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan subyek pada sifat-sifat yang dimilki objek.
Nilai dalam bahasa inggris disibut value adalah termasuk pengertian filsafat. Purnadi Purbacaraka Soerjarno Suekonto mengemukakan bahwa paba hakekatnya nilai adalah sesuatu yang diinginkan(positif) atau sesuatu yang tidak diinginkan (negatif).[2]
Nilai mengadung arti menimbang,yaitu kegiatn manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu,dan selajutnya mengambil keputusan. Atau nilai dapat berarti menimbang dan memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil perbandingan dan pertimbangan itulah yang disebut nilai. Dalam memberikan penilaian,subjek segala kelengkapan analisis yang ada padanya:
1. Indra yang dimilikinya menghasilkan nilai nikmat, dan sebaliknya nilai kesengsaraan.
2. Rasio menghasilkan nilai benar dan salah
3. Rasa menghasilkan nilai baik dan dan buruk atau adil dan tidak adil.
4. Rasa estetis menghasilkan nilai indah dan tidak indah
5. Iman menghasilkan nilai suci dan tidak suci,halal dan haram.
C. HAKIKAT NILAI
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang kearah yang lebih kompleks.[3]
Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004: 323) mengatakan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri.
2. Nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
3. Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai menpunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam.Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar atau indah), mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
BAB II
DAKWAH ISLAM UNTUK MANUSIA
A. PENGERTIAN DAKWAH
1. Dakwah Secara Etimologi
Dakwah secara bahasa mempunyai beberapa makna, yaitu:[4]
a. Dakwah yang artinya do’a atau permohonan, QS. Al-Baqarah: 186.
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
b. Dakwah yang artinya undangan
“Datangilah undangan apabila engkau diundang” (HR. Muslim)
c. Dakwah yang artinya menyeru (QS. Yunus: 25)
ª!$#ur (#þqããôt 4n<Î) Í#y ÉO»n=¡¡9$# Ïökuur `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuÅÀ 8LìÉ)tFó¡B ÇËÎÈ
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”
Arti kalimat darussalam ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan. pimpinan (hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Dakwah yang artinya mengajak (QS, Yusuf: 33)
tA$s% Éb>u ß`ôfÅb¡9$# =ymr& ¥n<Î) $£JÏB ûÓÍ_tRqããôt Ïmøs9Î) (
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.”
2. Dakwah Secara Terminologi
Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan dan mendefenisikan dakwah, hal ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memaknai dan memandang kalimat dakwah itu sendiri.[5] Diantara ulama tersebut adalah:
a. Muhammad Abu al-Futuh dalam kitabnya al-madkhal ila ‘ilm ad-Da’wat mengatakan bahwa dakwah adalah menyampaikan (at-tabligh) dan menerangkan (al-bayan) apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
b. HMS. Nasarudin Latif, dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak Islamiah.
c. Syeikh Ali Manfudz, Dakwah adalah mengajak (menolong) manusia untuk mengikuti kebenaran dan petunjuk, menyeru mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
B. TUJUAN DAN MANFAAT DAKWAH
Menurut Asmuni Syukir, tujuan dakwah dapat dibagi kepada dua tujuan, yaitu:[6]
1. Tujuan umum
Tujuan umum adalah mengajak manusia meliputi orang kafir maupun mukmin kepada jalan Allah SWT yang benar dan di ridhai oleh Allah SWT agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
2. Tujuan khusus
Sedangkan tujuan khusus menurut beliau adalah:
a. Mengajak manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
b. Membina mental agama Islam bagi kaum yang masih muallaf, yang masih dikhawatirkan keislamannya dan keimanannya.
c. Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah SWT.
d. Mendidik anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.
Tujuan dan manfaat dilaksanakan dakwah adalah mengajak manusia ke jalan Tuhan, jalan yang benar, yaitu Islam. Disamping itu, dakwah juga bertujuan untuk mempengaruhi cara berfikir manusia, cara merasa, cara bersikap, dan bertindak, agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dakwah bermanfaat agar manusia itu kembali kejalan yang benar, agama yang fitrah, yakni Islam. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 221.
ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
“Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
C. DAKWAH ISLAM UNTUK MANUSIA
dibanding dengan makhluk lain, manusia menurut Islam mempunyai kapasitas yang paling tinggi, mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh dibawah alam sadarnya. Menurut Achmad Mubarak desain kejiwaan manusia diciptakan Tuhan dengan sangat sempurna, berisis kapasitas-kapasitas kejiwaan, seperti berfikir, merasa, dan berkehendak. Jiwa manusia merupakan sistem yang terdiri dari subsistem ‘Aql, Qalb, Bashirat, syahwat dan hawa.
‘Aql merupakan problem solving capacity, yang bisa berfikir dan membedakan yang baik dan yang buruk. Akal bisa menemukan kebenaran, tetapi tidak bisa menentukannya, oleh karena itu kebenaran ‘Aqly ini bersifat relatif.
Qalb (hati) merupakan perdana menteri dari sistem nafsani, dialah yang memimpin jiwa manusia. Qalb sering berubah-ubah atau tidak konsisten. Bashirat adalah pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Bashirat bersifat konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Bashirat disebut juga nurani, yang berasal dari kata nur. Menurut konsep tasawuf, Bashirat adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati.
Syahwat adalah motif kepada tingkah laku. Semua manusia yang normal mempunya syahwat terhadap lawan jenis, menyukai benda berharga, dan lain-lain. Syahwat adalah sesuatu yang manusiawi dan normal. Hawa adalah dorongan kepada objek yang rendah dan tercela.
Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah. Al-qur’an membagi dua tingkatan nafs, yaitu:
1. Nafs martabat tinggi yaitu dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
2. Nafs martabat rendah yaitu nafs yang dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya serta orang-orang yang sesat yang cenderung berperilaku menyiumpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.
Nah, Islam datang untuk menyempurnakan akhlak manusia yang tercela seperti yang dijelaskan di atas. Dalam hal ini diperlukan dakwah yang bertujuan agar manusia itu beriman, bertakwa menyerap segala unsur positif kemanusiaan maka manusia tersebut akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang utuh dan mencapai kesempurnaan.
Sebagaimana firman Allah dalam
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al- Dzariyat: 56)
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“ Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Qashash: 77)
BAB III
NILAI-NILAI DAKWAH DIPANDANG DARI SISI DAKWAH ISLAM
A. NILAI-NILAI PANCASILA DIPANDANG DARI SISI DAKWAH
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila yang dipandang dari sisi dakwah adalah sebagai berikut:
1. Sila I: Ketuhanan Yang Maha Esa
Perkataan ketuhanan berasal dari Tuhan. Siapakah Tuhan itu? Jawabannya adalah pencipta segala ada dan semua makhluk. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, Esa dalam zatNya, dalam sifatNya maupun perbuatanNya.
Hal ini selaras dengan QS. Al-Ikhlas: 1-4.
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Jika kita sepinta, ayat di atas selaras dengan sila pertama ini yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam memahami sila ke satu ini hendaknya para pemuka agama senantiasa berperan didepan di dalam menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya. Misalnya beragama Islam senantiasa berpegang teguh pada kitab suci Al-Qur an dan sunnah Rasul dengan rajin melaksanakan ibadah di masjid, bergitu juga seterusnya bagi agama lainnya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara didirikan adalah sebagai penjabatani tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, politik negara, pemerintah negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sila II: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Sesuai dalam firman Allah QS. An-Nahl:90.
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
" Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran"
Perkataan kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk ciptaan manusia, yang memiliki potensi pikit, rasa karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Dengan akal budinya manusia menyadari akan nilai-nilai dan norma-norma.
Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan berdasarkan atas ukuran atau norma-norma yang objektif dan tidak subjektif, sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Kata adab mengandung pengertian tata kesopanan, kesusilaan, atau moral.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang berdasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik pada diri pribadi, sesama manusia maupun pada alam sekitarnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa indonesia bersumber pada ajaran Tuhan yang Maha Esa, yaitu sesuai dengan kodrat manusia sebagai ciptaannya.
3. Sila III: Persatuan Indonesia
Sesuai dalam firman Allah QS. Al-Maidah: 2.
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh, tidak terpecah-pecah, persatuan mengandung pengertian bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
Persatuan Indosesia merupakan perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sehingga paham kebangsaan indonesia bukan paham kebangsaan yang sempit tetapi paham kebangsaan yang menghargai bangsa lain sesuai dengan sifat kehiduoan bangsa yang bersangkutan.
4. Sila IV: Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sesuai dalam firman Allah QS. AL Muddatsir: 38.
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya.”
Yang dimaksudkan dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan ini ialah bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaan atau kekuasaan yang dijalankan dengan mengatasnamakan rakyat itu ditempuh melalui sistem perwakilan dan keputusan-keputusan yang diambil diselenggarakan melalui jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta rasa tanggung jawab, baik kepada Tuhan yang Maha Esa, maupun kepada Rakyat yang diwakilinya/rakyat banyak.
Sila keempat merupakan sendi yang penting dari pada asas kekeluargaan dan asas bahwa tata pemerintah Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat.
5. Sila V: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
6. ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd cqãZÅ¡øtC ÇÊËÑÈ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung arti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
B. EKSISTENSI NILAI-NILAI PANCASILA BAGI BANGSA DAN NEGARA
Bumi Pancasila itulah sebutan bagi negara Indonesia. Bisa kita katakan sebagai bumi Pancasila disebabakan tidak ada satu pun jalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sah di Bumi Pertiwi Indonesia kecuali sesuai dan sejalan dengan Pancasila.
Dijadikannya Pancasila sebagai landasan ideal bagi bangsa Indonesia dan ditempatkannya teks Pancasila dalam pembukaan UUD 1945, menimbulkan dampak besar dalam seluruh segi kehidupan bangsa Indonesia. Tidak hanya berdampak yuridis, tapi juga filosofis dan sosiologis bagi seluruh elemen bangsa Indonesia.
Secara yuridis Pancasila menjiwai UUD 1945 yang merupakan landasan konstusional bangsa Indonesia. Sebagai landasan konstutisional, UUD 1945 haruslah semua bentuk peraturan hukum di bawahnya sejalan dan seirama dengan apa yang diinginkan untuk dicapai oleh UUD 1945.
Dari sudut pandang yuridis hal ini bisa kita wujudkan dengan sinkronisasi segala bentuk peraturan perundang-undangan di bawah UUD agar maksud dan tujuan Pancasila dapat tercapai melalui bentuk penjabaran norma-norma hukum.
Namun, sinkronisasi jiwa Pancasila yang dijabarkan dalam norma-norma hukum itu masih menyimpan banyak persoalan tentang eksistensi Pancasila dalam kehidupan nyata bangsa Indonesia. Sebagai suatu norma kita akui Pancasila haruslah menjadi pedoman bagi segala bentuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi ini.
Tapi sebagai pandangan hidup adakah Pancasila masih menjadi satu kesatuan jiwa dan cara berpikir bangsa Indonesia?
Nilai-nilai Pancasila kini telah tergerus oleh globalisasi yang selalu membawa karakter individualistik dan liberal. Kita sebagai bangsa tidak lagi mampu menjadikan Pancasila sebagai benteng untuk menahan arus globalisasi yang membawa dampak kehidupan yang sejatinya bertentangan dengan Pancasila.
Persoalan-persoalan bangsa yang tak pernah kunjung selesai adalah bentuk lunturnya Pancasila dari jiwa bangsa Indonesia. Karena semua persoalan itu sejatinya adalah persoalan yang hanya membutuhkan satu solusi saja, yaitu sebuah karakater sebagai identitas bangsa Indonesia. Sebuah karakater yang mampu menghantarkan bangsa ini ke depan gerbang kesejahteraan, dan karakater itu bernama pancasilais.
Kini, sebagai bangsa kita terlalu sibuk memikirkan bagaimana nilai ekspor kita meningkat, cadangan devisa bertambah, eksploitasi sumber daya alam, dan bagaimana mekanisme memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Tapi kita tidak pernah lagi berpikir untuk bagaimana membumikan Pancasila di hati anak bangsa, sehingga mereka bisa tumbuh sebagai pemegang tongkat estafet sebagai seorang Pancasilais.
Perhatian kita tersita oleh persoalan-persoalan teknis yang sejatinya bisa diselesaikan secara mudah asal kita sebagai bangsa punya pendirian. Pancasila kini hanya dijadikan sebagai bacaan wajib dalam setiap upacara, bacaan dan hapalan wajib dalam setiap jenjang pendidikan, tapi kita tidak pernah mewajibkan menerapkan nilai-nilainya.
Masihkan kita belum menyadari mengapa dulu para founding father kita menciptakan Pancasila. Sesungguhnya para founding father kita sadar bahwa bangsa ini tidak akan pernah tenggelam dan terkucilkan dari bangsa lain selama kita punya karakter sebagai identitas sebagai bangsa. Meski kita hidup sebagai bangsa yang serbakekurangan. Sebab segala bentuk persoalan teknis pasti dapat diselesaikan dengan bijak selagi kita berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila.
Kini generasi bangsa telah mulai melupakan urgensi Pancasila, kita lebih tertarik dengan kehidupan gaya barat yang hedonis dan individualistik. Kita tidak lagi memikirkan jiwa keadilan sosial dan kesejahteraan sosial yang menjadi salah satu nilai Pancasila. Korupsi, kolusi, dan nepotisme kini telah menjadi kebiasaan jika kita tidak mau berkata itu telah menjadi budaya. Banyak hal-hal yang dulunya tabu kini telah menjadi suatu hal yang biasa, karena kita tidak lagi mau mengkaji dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.
Eksistensi Pancasila sebagai pandangan hidup yang bernilai filosofis dan sosiologis kini menjadi hal perlu untuk menjadi kajian generasi bangsa. Penumbuhan kembali Pancasila sebagai pandangan hidup yang tersemayam dalam jiwa manusia Indonesia adalah hal yang mendesak dan persoalan utama kita sebagai bangsa Indonesia. Jika kita tidak ingin ia hanya bernilai semantik belaka, dan hanya menjadi slogan-slogan di setiap upacara. Yang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa yang pengekor bukan pelopor di tengah globalisasi yang terus mewarnai dunia.[7]
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini menegaskan keberadaan Pancasila sebagai falsafah negara sudah final. Untuk itu jangan ada pihak‑pihak yang berpikir atau berusaha menggantikannya. Presiden juga meminta kepada seluruh kekuatan bangsa untuk mempraktikkan nilai‑nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.[8]
Penegasan seperti itu sebenarnya bukanlah wacana baru. Namun jika Presiden sampai memberi penegasan mengenai hal tersebut setidaknya ini menjadi wacana politik yang mengusik untuk dikritisi. Atau paling tidak mencoba menelaah apa latar belakng penegasan presiden SBY tersebut.
Berbagai dasar penilaian politik mungkin saja dapat dimunculkan dari berbagai pihak, sebagai bahan perdebatan guna membahas fenomena ini. Tetapi yang pasti penegasan Presiden SBY adalah bentuk sikap reaktif atas kecenderungan realitas sistem sosial‑politik yang saat ini mengancam eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dengan demikian pernyataan itu jika disikapi secara konstruktif merupakan peringatan dan sekaligus ajakan politis kepada generasi sekarang untuk menjaga Pancasila dari berbagai upaya taktis dari pihak‑pihak yang ingin mencoba menggantikannya.
Terkait dengan upaya menanamkan kesadaran politik bangsa dalam menjaga Pancasila para elite politik, legislatif‑eksekutif dan penyelenggara negara seharusnya perlu mendorong tersedianya kebijakan atau regulasi publik. Kebijaksanaan itu harus mampu membangun partipasi politik rakyat secara keseluruhan ke arah itu. Terlebih lagi bila hal tersebut dikaitkan dengan realitas sosial‑politik saat ini.
Membangun kesadaran politik bangsa harus dan perlu diarahkan secara dini kepada generasi muda. Karena kelompok masyarakat inilah yang mengalami jeda pemahaman nilai‑nilai Pancasila cukup tinggi pada sisi konseptual dan kontekstual. Baik hal ini akibat lemahnya bimbingan politik yang diterima maupun akibat upaya taktis‑sistematis dari kelompok yang menginginkan Pancasila hilang dari ruang pemikiran politik rakyat. Oleh karenanya jika penegasan SBY tersebut juga mencerminkan sikap formal negara maka pemerintah seharusnya juga mampu menjalankan kebijakan‑kebijakan secara konsisten yang selalu berpijak pada pemaknaan politik mendefinisikan eksistensi Pancasila sebagai falsafah negara. Langkah konkritnya, pemerintah perlu memasukkan kembali nilai‑nilai Pancasila sebagai materi bahan pengajaran pada sistem pendidikan nasional. Kebijakan ini tetap relevan dan tidak akan mengurangi hakekat dari tujuan dasar pelaksanaan pendidikan nasional yang ingin menciptakan manusia yang berakhlak dan cerdas
falsafah politik
Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa negara merupakan persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang juga merupakan masyarakat hukum. Artinya hukum tak dapat dipisahkan dari dinamika masyarakat.
C. DAMPAK NILAI-NILAI PANCASILA BAGI BANGSA
Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka.[9] Pengaruh positif Pancasila sebagai ideologi terbuka anatara lain adalah Pancasila merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri; Pancasila merupakan hasil musyawarah dan konsensus masyarakat; dan Pancasila bersifat dinamis dan reformis.
Sedangkan dampak negatif Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila adalah tidak memiliki sabuk pengaman sehingga memberikan ruang untuk multi interpretasi. Dengan kata lain bahwa kelemahan-kelemahan penerapan Pancasila selama ini sebagai suatu ideologi terletak pada bagaimana ia dirumuskan kembali sebagai suatu kebijakan. Inilah inti permasalahan, yang kemudian bisa menyentuh hal-hal lain, dimulai dengan bagaimana kita mengkonseptualisasi fungsi negara. Bagaimana hubungan antara negara dengan warganegara, lalu bagaimana kebijakan ekonomi dan seberapa besar dari perekonomian itu ditujukan untuk memelihara negara dan memelihara kolektivitas. Dengan cara begitu, mungkin akan lebih mudah untuk menjabarkan semua sila-sila yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga kita tidak terbentur dengan rumusan-rumusan yang sifatnya normatif semata-mata.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.[10]
1. Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
a. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
b. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
c. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
2. Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
a. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
b. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
c. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
d. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
e. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
4. Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
a. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
b. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
c. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
d. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
e. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kita adalah produk warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal realism.
Dalam menyoroti problem tersebut, hendaknya segera dicarikan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Inilah tanggung jawab kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem tersebut. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan, seyogyanya moralitas menjadi perhatian dan diutamakan. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem tersebut.
Kita memang tidak dapat menghindari modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Media elektronika menempati posisi dan peranan yang sangat signivikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi di sisi lain, ia membawa dampak negatif yang harus dihindarkan. Upaya yang mesti dilakukan adalah menyeleksi berbagai acara yang dapat menimbulkan rangsangan atau birahi. Betapa tidak, TV misalnya, dapat diakses oleh semua kalangan, baik anak-anak maupun orang tua. Tiadanya batasan terhadap segala tayangan di TV mengindikasikan bahwa hal itu tidak bertentangan atau direstui oleh negara. Padahal negara kita, berfalsafahkan Pancasila yang memuat nilai-nilai agamis, moralitas. Dalam Islam sendiri, telah sangat gamblang bahwa misi Nabi SAW adalah menyempurnakan moralitas umat/bangsa.
Hukum sebagaimana disebutkan di muka, harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban, moral dan aturan. Hukum itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai tool untuk menuju tujuan yang tinggi, yakni maqâshid al-syarî`ah. Maqâshid al-syarî`ah ini tidak bertentangan dengan HAM, bahkan meliputi HAM itu sendiri. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa hak-hak individu itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak agama, yakni tidak boleh mengabaikan aspek moral.. Karenanya sikap MUI yang secara tagas melarang goyangan Inul sangat tepat. Selain alasan karena maksiat, juga menutup pintu (sadd al-dzarî`ah) agar tidak terlalu jauh membawa dampak negatif, menghancurkan moralitas bangsa.
Oleh karena itu, hendaknya para pemimpin insyaf (sadar), bahwa apapun bisa dipolitisasi, tetapi jelas politisasi yang mengabaikan sisi moralitas tidaklah terhormat. Kampanye dengan menampilkan goyang ngebor, goyang ngecor cs adalah kemaksiatan yang harus dihindari dengan kaidah Dar’ al-mafâsid muqaddam `alâ jalb al-mashâlih (menghindarkan kemafsadatan [dampak negatif, berupa degradasi moralitas bangsa] itu lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan/massa). Yang dibutuhkan sekarang adalah profesionalitas dan kredibilitas moral dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan, baik keterpurukan ekonomi, moneter, kepercayaan, hukum hingga keterpurukan moralitas. Hanya kesadaran dan political will para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang maslahat (tasharruf al-imâm manûth bi al-mashlahah).
B. SARAN
Dengan berakhir makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini, masih jauh dari kesempurnaan ini. Maka dengan itu penulis mohon kritik dan sarannya demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Kaelan, 2001, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma.
- Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila Dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Ali Abri, Dkk, 2008, Study Ilmu Dakwah, Pekanbaru: Suska Press.
- Fauzah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006, Psikologi Dakwah, Jakarta: Kencana.
- http://artikel-media.blogspot.com/2010/06/eksistensi-pancasila-di-bumi-pancasila.html
- http://joealfianto.multiply.com/reviews/item/6
- http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091129230836AA5JFjv
- http://www.iyoiye.com/forum/viewtopic.php?f=24&t=1352
[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2001), hal. 172.
[2] Subandi Al Marsudi, Pancasila Dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 40.
[3]http://file.upi.edu/Direktori/C%20%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BAHASA%20ARAB/195204141980021%20-%20DUDUNG%20RAHMAT%20HIDAYAT/HAKIKAT%20DAN%20MAKNA%20NILAI.pdf
[4] Ali Abri, Dkk, Study Ilmu Dakwah, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), hal. 5.
[5] Fauzah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 5.
[6] Ali Abri, Dkk, op.cit., hal. 13
[7] http://artikel-media.blogspot.com/2010/06/eksistensi-pancasila-di-bumi-pancasila.html
[8] http://joealfianto.multiply.com/reviews/item/6
[9]http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091129230836AA5JFjv
[10] http://www.iyoiye.com/forum/viewtopic.php?f=24&t=1352
Tidak ada komentar:
Posting Komentar